Mereka semua digembleng menjadi pribadi mandiri. Segala sesuatu dikerjakan sendiri, termasuk masak. Keunggulan lain, para siswa menguasai bahasa asing, teknik menghafal cepat, dan jarimatika. Kecuali siswa kelas 3, kata Farid, murid diajar kakak kelasnya. "Supaya suasana jadi relaks dan siswa yang lebih tinggi kelasnya, bisa mengeksplor kemampuannya saat mengajar adik-adiknya."
Beras Sumbangan Jadi Andalan
Masih di Banyuwangi, tepatnya di Dusun Sukodadi, sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mubtadiul Huda juga memiliki semangat sama, yaitu menciptakan pendidikan murah bagi masyarakat menengah ke bawah. Di sekolah ini, siswa sama sekali tidak dipungut biaya. Seragam pun gratis.
Semua pengeluaran sekolah, termasuk gaji para guru, diambil dari hasil penjualan beras jimpitan yang diambil seminggu sekali dari warga setempat.
Bapak empat anak tamatan SD ini mengisahkan, sejak sekolah yang dirintis mendiang ayahnya itu berdiri tahun 1972, tak pernah memungut biaya. "Mudah-mudahan kerja sosial ini nantinya diteruskan anak saya," kata Mustari yang pekerjaannya membuat batu bata.
Karena tak punya biaya, para guru pun mendapat bayaran minim. Honor mereka hanya Rp 50 ribu per bulan. Rinciannya, Rp 40 dari hasil penjualan berasa jimpitan dan Rp 10 ribu dari donatur. "Bantuan pemerintah ada, tapi menunggu turunnya anggaran agak lama. "Toh, para guru tak keberatan dibayar minim. "Tak masalah. Kami semua iklhas mengajar demi anak didik kami," kata Siswati (37) yang sudah 17 tahun mengajar di madrasah tersebut.
Toh, keadaan yang memprihatinkan itu, tak membuat Mustari kecil hati. Ia malah bangga karena mantan anak didiknya sudah banyak yang jadi "orang". Selain pegawai negeri, ada yang menjadi pengusaha sukses, bahkan jadi jaksa. "Itu salah satu kebahagiaan saya. Rasanya perjuangan kami semua di sekolah ini, tidak sia-sia," katanya tulus.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR