Siang itu, sekelompok siswa duduk santai di balai-balai bambu di halaman sekolah. Dengan suasana riang mereka saling bersahutan melafalkan bunyi-bunyian untuk menghafal cepat. Sementara kelompok lain yang ada di halaman mesjid, menghafal cepat ayat-ayat suci Alquran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah Inggris dan Arab.
Secara fisik, sekolah alam di Desa Jenesari, Banyuwangi, ini memang tak seperti sekolah pada umumnya. Tak ada ruang kelas. Yang terlihat hanya hamparan tanah seluas sekitar setengah hektare. Selain berdiri masjid, ada aula serta beberapa bangunan sebagai tempat tinggal siswa.
Selebihnya, saung-saung dengan latar belakang perkampungan penduduk. "Di sini memang bisa belajar di mana saja. Tak harus di ruang khusus. Yang penting mereka bisa belajar dengan relaks," ujar Kepala Sekolah SD-SMP Alam Banyuwangi Islamic School, Mocahamad Farid (33).
Sekolah yang berdiri sejak 2005 lalu, kata Farid, merupakan perpaduan dua konsep dari dirinya dan sang teman, Ustad Suyanto Choirul Ichwani, SPdI. Farid yang tamatan ponpes Sukorejo, Asembagus, memberi penekanan ke agama, sementara Suyanto yang alumnus pondok pesantren Gontor, untuk urusan materi bahasa Inggris dan Arab. "Sedangkan bahasa Jepang, ada bantuan dari pendidik luar sekolah," papar Farid sambil menambahkan, meski materi keagamaan cukup banyak, tapi tetap mengikuti kurikulum Diknas.
Bermodalkan konsep itu, Farid dan Suyanto dikirim H. Achmad Chusairi (Pak Aka), pengusaha sekaligus penyandang dana, ke Jakarta untuk melihat dari dekat sekolah alam di Ciganjur dan Surabaya. "Dari sana saya mencomot hal-hal yang baik kemudian saya terapkan di sekolah ini, ditambah konsep kami."
Bedanya, tak seperti di dua sekolah yang dipelajarinya itu, "Sekolah kami gratis, tanpa biaya. Termasuk untuk makan dan pondokan," papar bapak seorang anak tersebut. Saat pertama dibuka, "Sengaja dipasang spanduk besar untuk menarik minat siswa." Di spanduk tertulis, siswa cukup membayar dengan sayur. "Awalnya belum ada respon. Malah, dianggap lucu-lucuan. Kami lalu mencari siswa yang kurang mampu dari kecamatan ke kecamatan. Alhamdulillah, akhirnya berhasil mengumpulkan 25 siswa SMP," tutur Suyanto.
Sejak itu, kepercayaan masyarakat timbul. Mereka datang membayar uang pendaftaran dan SPP dengan membawa berbagai hasil bumi. Kadang ada pula yang memberi ayam peliharaannya. Semua itu pun, bukan untuk sekolah. "Diolah untuk penghuni pondok. Bahkan, kalau memang tidak punya, tetap kami gratiskan."
Ternyata program itu sukses. Bahkan, "Ada siswa yang meledek saya, penghasilannya dari memberi les, lebih besar dari gaji saya," ujar Farid sambil tertawa.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR