Sebenarnya, Tanta kecil adalah sosok yang aktif dan sangat menyukai dunia seni. Tanpa malu-malu Tanta berkisah, sejak kecil ia suka sekali menari dan bernyanyi. Ia pun sangat tertarik pada alat musik gitar dan drum. Orangtuanya yang memiliki darah Batak Karo diakuinya sering mengundang para musisi tradisional Karo dari Medan untuk mengisi acara adat Karo di Jakarta.
"Mereka selalu latihan dan menginap di rumah kami. Aku jadi terekspos untuk main musik, karena pada dasarnya sudah menyukai dunia seni. Jadilah aku banyak belajar sendiri soal musik," kenangnya sambil tersenyum. Sayang, kegemarannya dalam bermusik tak sepenuhnya didukung orangtua. Bahkan, Tanta yang saat itu ingin sekali mengecap pendidikan di sekolah musik, seperti les gitar dan drum, langsung dilarang orangtua.
"Mungkin mereka menganggap, musik hanyalah hobi. Alasan enggak boleh les musik juga karena jarak tempat kursus yang jauh dari rumah, karena saat itu kami tinggal di Palembang. Akhirnya, aku belajar sendiri dari buku musik yang ada kunci gitarnya," tambah Tanta yang sempat bercita-cita menjadi anggota ABRI.
Dilarang Tekuni Musik
Tanta mengakui, ia terlahir di keluarga yang tak memiliki darah musisi dan hanya sebatas pencinta seni. Karenanya, meskipun dilarang Tanta tetap meneruskan hobinya, bahkan terus terbawa hingga ia pindah ke Jakarta. Namun di tahun 1994, saat Tanta berusia 13 tahun, ia harus ikut keluarganya pindah ke negara Paman Sam,
"Padahal dari semua keluarga cuma aku yang enggak mau pindah. Soalnya aku merasa sedang asyik-asyiknya sekolah dan banyak teman. Tapi dipaksa, akhirnya aku ikut dan enggak boleh pulang ke Indonesia selama 3 tahun pertama," tuturnya.
Saat itu bukan hal mudah bagi Tanta untuk beradaptasi dengan kehidupan orang-orang di AS. Maklum, Tanta memiliki keterbatasan dalam berbahasa inggris. Hal itu pula yang membuat Tanta merasa 'asing' di sekolah dan memilih menyendiri. Akhirnya ia mulai menekuni musik lagi.
"Tiap break kelas aku sembunyi di ruangan musik sekolah dan aku belajar main piano di sana. Sampai keterusan untuk bermusik lagi, tapi tetap enggak didukung orangtua. Selulus SMA saat ingin meneruskan sekolah musik, orangtua tak kasih izin. Mereka selalu beralasan, mau jadi apa aku nantinya dengan musik? Mereka beranggapan, musisi itu pendapatannya kurang oke. Contohnya, musisi adat Karo yang sering mereka undang. Ya, namanya juga musisi adat, yang dipanggil hanya untuk pesta adat. Apalagi Ayah sangat menjunjung tinggi nilai pendidikan. Orangtua mau aku sekolah yang benar dan seni hanya hobi, bukan untuk cari makan," ungkapnya.
Mengingat orangtuanya yang selalu melarangnya bermusik, Tanta akhirnya memilih melanjutkan sekolah ke bidang elektronik. Ia pun berhasil lulus dengan gelar insinyur elektro. Setelah itu, Tanta memilih bekerja, namun tetap menyempatkan diri menekuni hobinya bermusik, "Jadi pagi hari aku kerja, malamnya aku ngeband sama teman-teman sekolah dulu."
Bersama bandnya Tanta biasa menjadi band pembuka bila ada musisi Indonesia yang datang ke AS, seperti Gigi dan Slank. "Awalnya, sih, kami bawakan lagu yang liriknya berbahasa Indonesia, tapi jalan di tempat. Ahirnya diubah ke lirik Bahasa Inggris dan hasilnya oke. Bahkan kami sempat punya album dan melakukan tur," ujarnya bangga.
Selama 10 tahun tak pulang, di tahun 2004 Tanta sempat ke Indonesia sekadar untuk jalan-jalan. Di Jakarta Tanta menemui banyak 'godaan' untuk terjun ke musik. Sekembalinya ke AS, Tanta terus terngiang soal musik. Di tahun 2008 Tanta membulatkan tekad meninggalkan AS dan behenti dari pekerjaanya sebagai engineer.
Datang ke Jakarta, Tanta akhirnya jadi musisi dan kerap manggung di sejumlah acara. Sempat juga memasukkan lagu ke sebuah label namun tak laku di pasaran. "Soalnya saat itu sedang laku Melayu, jadi responnya kurang oke. Musik kami terlalu bule." Di tahun 2009, Tanta lalu mendapat info untuk ikut kasting Gita Cinta The Musical. Meski tak berharap banyak, Tanta nekat mencoba agar dompetnya tetap berisi. Ternyata Tanta lolos kasting dan dikarantina selama 6 bulan. Selama itu pula ia tak bisa ambil pekerjaan lain.
"Padahal jika diingat, gajinya bikin pengin nangis. Gaji sebulan ikut musikal merupakan gaji aku sehari sebagai insinyur di AS. Ha ha .... sampai ribut juga sama Ayah. Tapi aku bertekad untuk membuktikan , aku bisa hidup di Indonesia dengan jalan itu," ungkapnya.
Selama menjalani karantina, Tanta banyak belajar dari koreografer Ari Tulang. Diakuinya, Ari mengajarkannya cara kerja di dunia hiburan. Meski selama mengajar Ari bicara tegas dan tajam, Tanta tak pernah putus asa. "Jika ditegur, aku justru jadi punya harapan. Dan aku percaya, diberi talenta oleh Tuhan. Jika Tuhan kasih talenta ini, enggak mungkin aku dijatuhkan." Singkat cerita, sukses dengan Gita Cinta The Musical, Tanta mulai mencoba panggung musikal lain seperti Musikal Laskar Pelangi dan Ali Topan," Sejak itu aku benar-benar terjun ke dunia musikal."
Keseriusannya dalam bekerja akhirnya membawa Tanta ke puncak karier. Kini ia pun memiliki program TV Tarung di Kompas TV dan dipercaya ikut main dalam film Soekarno garapan sutradara Hanung Bramantyo. "Aku sempat beri waktu 5 tahun untuk bekerja keras dan mencapai mimpi. Pas di tahun kelima, aku dapat film Soekarno. Aku sangat bersyukur meski masih punya ultimate goal lain untuk jadi produser atau sutradara. Aku tak punya basic di film, maka aku berpikir untuk learning by doing," ungkapnya.
Melihat keseriusan Tanta berkarier di dunia entertaiment, akhirnya hati orangtua Tanta pun luluh. Meski mereka masih tinggal di AS, namun langsung memberi dukungan dan doa bagi Tanta. Mereka pun selalu mengikuti perkembangan karier pria kelahiran Jakarta 16 Oktober 1981 ini. "Mereka melihat prestasi aku."
Lalu bagaimana nasib band-nya? "Band enggak bubar, tapi personelnya sibuk masing-masing. Kalau enggak ada jadwal lain, kami masih suka kumpul. Terakhir kami main di Java Rockin Land. Kangen juga, sih. Tapi antara musik dan akting, adrenalinnya beda," tandasnya.
CAROLINE PRAMANTIE
KOMENTAR