Waktu pertama bertemu Pak Syarief, saya sudah lulus kuliah di IISIP dan bekerja di perusahaan konsorsium Indonesia-Malaysia sebagai junior secretary, sedangkan Pak Syarief adalah pengusaha. Saya dikenalkan oleh teman, istilahnya dicomblangin. Waktu itu umur saya 24 tahun dan Pak Syarief 47 tahun.
Selama enam bulan kami saling memahami karakter masing-masing, merasa cocok, lantas menikah di tahun 1999. Tahun itu belum ada Partai Demokrat, padahal di isi Twitter TrioMacan2000 ditulis suami saya telah menjadi seorang pejabat. Suami saya baru menyelami dunia politik setelah lima tahun kami menikah dan mempunyai seorang anak bernama Ziankha Amorette Fatimah Syarief. Bisa ditanyakan, deh, ke teman-teman saya kuliah dulu kalau tidak percaya.
Kenapa yakin untuk menikah muda?
Saat itu saya memang ingin mengikuti jejak ibu untuk menikah muda. Saya dan ibu sudah seperti teman. Ibu tidak terlalu strict, jadi memberikan kebebasan yang cukup moderat tapi juga memberikan bekal fondasi agama yang kuat.
Kebetulan saya memang tidak tertarik dengan pasangan yang lebih muda ataupun sebaya. Mantan pacar saya dulu paling muda umurnya 10 tahun di atas saya. Saya ini, kan, anak pertama dan perempuan. Perempuan itu daya nalarnya lebih cepat. Jadi saya memang mencari pria yang sudah matang.
Saya melihat sosok suami saya bisa menjadi kepala rumah tangga yang bisa mengarahkan istrinya. Terlebih saya bukan tipe istri yang ingin mendominasi. Pak Syarief sangat menghormati perempuan serta menyayangi keluarganya maupun keluarga saya.
Alhamdulillah tetap harmonis. Saya tidak mau takabur, karena banyak artis yang mesra di televisi tapi tetap cerai. Saya memang dengan suami penginnya selalu hangat dan suami pun orang yang romantis. Kami selalu berpegangan tangan ke mana-mana. Saat tidur pun kami berpegangan tangan. Intinya, hal-hal yang dilakukan saat pacaran masih kami lakukan sampai sekarang.
Omong-omong soal anak, apakah Ziankha sudah mengetahui hal ini?
Ziankha memang sangat menyukai teknologi. Tapi sejauh ini dia sibuk dengan dunianya dan teman-temannya. Enggak perlu juga memberitahu anak karena isi beritanya seperti stensilan dan murahan. Kalaupun dia bertanya, akan saya jawab.
Ziankha sangat kritis. Era sekarang memang sudah jauh berbeda dan menurut saya sudah terjadi pergeseran moral. Terpenting, kami harus menanamkan fondasi agama yang kuat. Sampai sekarang kami tetap memanggil guru mengaji ke rumah. Anak kami sudah kami jelaskan tentang pengetahuan seks sejak dini dengan bahasa yang memang pantas untuk umurnya. Saya tidak ingin dia mengetahuinya dari orang lain. Saya ingin dia bisa menganggap saya sebagai teman.
Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?
KOMENTAR