Dengan memilih menjalani pernikahan dengan konsep budaya Keraton Surakarta, kedua mempelai harus menerima konsekuensi untuk mengikuti semua tata aturan dari adat pernikahan tersebut. Menurut wanita kelahiran 28 Desember 1986 ini, tidak mudah menjalani semua prosesi. Namun ia ingin mendapatkan makna yang kuat dalam mempersiapkan dirinya menempuh kehidupan baru sebagai suami istri.
Salah satu prosesi yang sedang dijalani Reisa dan Pangeran Tedjodiningrat adalah masa pingitan. Kedua mempelai ini telah dipingit selama 7 hari lamanya tidak dapat bertatap muka maupun berkomunikasi.
"Mengekang hawa nafsu selama pingitan ini merupakan inti dari prosesi itu. Sebagai orang yang dilahirkan dalam dunia yang sudah maju dan mapan, tentu nilai-nilai seperti ini sudah banyak tergerus. Saya dapat mempersiapkan diri tidak hanya lahir tapi juga batin dalam menghadapi pernikahan Doa dan penyerahan diri menjadi kunci dalam menjalani proses ini," ungkap Reisa.
Proses ini juga menjadi tantangan bagi Reisa yang selama ini hidup di kota metropolitan. Selain pingitan, jelang pernikahan juga diadakan pengajian yang diikuti oleh ibu-ibu pengajian masjid Rahayu Tegalayu, pada Rabu (7/11) malam di kediaman mempelai wanita. Selanjutnya, Kamis (8/11) pagi pemasangan bleketepe dan tuwuhan, kemudian dilanjutkan dengan acara siraman di kediaman kedua mempelai.
Prosesi ini juga akan dihadiri oleh seluruh keluarga besar Keraton. Malam harinya akan ada acara Midodareni dan peningset, dimana untuk pertama kalinya kedua mempelai akan dipertemukan setelah menjalani pingitan. Kemudian acara dilanjutkan dengan liru kalpiko atau tukar cincin.
Antie
KOMENTAR