Ayah Lintar, Edi Morgan meninggal dunia di usia 38 tahun pada 21 Maret 2009 silam. Sebelum Edi menghembuskan nafas terakhir akibat serangan jantung, ada rencana besar yang ia rancang bersama Lintar, yakni mengantar anak sulungnya itu ikut audisi Icil 3 di Jakarta. Edi yang musisi daerah berharap rencana kali ini terwujud, tanpa terkendala biaya.
"Jika tak bisa naik pesawat, almarhum bilang, ia dan Lintar bisa numpang truk-truk untuk nyusul teman-temannya ke Jakarta," kisah Nildawati, ibunda Lintar. Sejumlah uang pun disisihkan untuk ditabung. "Sebagian sudah dibelikan ikat pinggang dan sepasang sepatu baru untuk Lintar nanti tampil di audisi Icil 3 di Jakarta," imbuh Nilda.
Namun apa mau dikata, Edi telah berpulang cepat. Ia meninggalkan Nilda, Lintar (12), dan ketiga putrinya (si kembar Najla-Nada, 10, dan Najwa, 6). Lintar sempat patah semangat. Ia yang sering menjuarai festival menyanyi di Sumatera Barat "mogok" menyanyi. "Lintar baru mau ikut festival jika pialanya nanti dibawa ke makam Papinya. Beberapa piala itu dibawanya ke makam."
Rencana ke Jakarta tetap menjadi angan-angan, sebab dana untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja makin sulit setelah Edi tiada. Dulu, Edi lah, yang menafkahi mereka dari bernyanyi dan bermain keyboard di berbagai acara atau pesta. Nilda dan keempat anaknya memilih berjualan roti bakar untuk menopang biaya hidupnya.
Mereka berbagi tugas. Nilda membuat roti bakar, sementara Lintar dan Si Kembar mendapat tugas membawanya ke warung-warung. "Lintar menitipkan roti bakar ke warung-warung yang jauh, sedang adiknya ke warung-warung dekat yang tak perlu menyeberang jalan. Si Kembar juga membawa roti bakar untuk dijual di sekolah," cerita Nilda.
Lintar membantu Nilda tanpa banyak mengeluh, sebab ia merasa kini menjadi pengganti Edi. "Setelah Papi enggak ada, saya harus bantu Mami membiayai adik-adik," tutur Lintar suatu ketika.
Ikat Pinggang & Sepatu Audisi
Keinginan Lintar mengikuti audisi Icil 3 akhirnya tercapai. Tak perlu ke Jakarta karena kali ini audisi mampir ke Kota Padang. Kebetulan pula lokasinya di sekolah Lintar. "Alhamdulillah, audisi itu terjadi sekitar 3 bulan setelah Papinya meninggal. Tadinya saya pikir Lintar sudah gagal audisi. Audisi ini memang harapan Papinya," ujar Nilda berkaca-kaca.
Lintar pun mempersiapkan dirinya baik-baik. Tak lupa ia pakai ikat pinggang dan sepatu pembelian Edi yang selama ini tersimpan rapi. Di audisi itu, Lintar menyanyikan lagu Saat Terakhir milik ST 12. Ia sangat menghayati dan meresapi lagu itu. Salah satu juri, Ira Maya Sopha, sampai tersentuh dan banyak bertanya. Hingga terungkap, Lintar mendedikasikan lagu itu untuk Edi. Lintar, Mama Ira, dan semua yang menyaksikan kian terharu, karena ikat pinggang dan sepatu yang dibelikan Edi akhirnya bisa menemani Lintar di audisi. Lintar pun lolos audisi.
Sejak itu, perjuangan Lintar terus berlanjut di panggung Icil 3 di Jakarta. Tak dipungkiri, pesan dan harapan Edi selalu menyemangati Lintar. Diakui Nilda, sosok Edi adalah idola Lintar. Edi lah, yang melatih Lintar kecil bernyanyi. "Papinya sendiri sangat mengagumi suara lintar. Jika Lintar sudah tidur, Papinya bilang, 'Lintar bintang kejoraku'. Papinya enggak mau memuji di dekat Lintar, karena ia tak mau Lintar besar kepala."
Lintar lahir dari orangtua yang menyukai dunia tarik suara. Bakat menyanyinya sudah tampak sejak usia 1 tahun. "Lintar cepat bisa bicara, tapi ia mulai naik panggung di usia 3 tahun. Itu juga tak sengaja. Di acara pesta keluarga, Papinya main keyboard. Melihat saudara-saudaranya menyanyi, Lintar merasa ia juga bisa. Saya tak percaya, tapi ia memaksa menyanyi sambil menangis. Akhirnya ia menyanyi medley sambil diiringi Papinya. Banyak yang kagum."
Di usia 5 tahun atau duduk di sekolah TK, Lintar mulai rajin mengikuti lomba menyanyi dan menjadi juara. Berkat prestasi itu pula ia kini digratiskan biaya oleh sekolahnya. Di Padang, Lintar sebetulnya sudah mendapat tawaran untuk masuk dapur rekaman, tapi Edi tak mau anaknya jadi penyanyi daerah seperti ayahnya. "Papinya bilang, Lintar harus berkembang di Jakarta. Caranya, ya, lewat Idola Cilik."
Tanpa sepengetahuan Nilda, Lintar sudah menciptakan beberapa lagu. "Di tempat tidur Lintar sering bergitar. Ia ingin punya keyboard. Gitar pun dibeli dari uang hadiah festival menyanyi," tambah Nilda tentang anaknya yang menyukai lagu-lagu band Ungu dan ST 12.
Berusaha Dulu
Sejak Lintar ikut Icil 3, kehidupannya dan keluarga jadi berbeda. Lintar ditemani Nilda rajin bolak-balik Padang-Jakarta (Lintar sekolah Senin-Kamis di Padang) naik pesawat dan menginap di hotel mewah. Kehidupan yang tak pernah dibayangkan Lintar dan Nilda sebelumnya.
Selain itu, Lintar mulai dikenal orang dan dieluk-elukan. Berbagai hadiah diberikan penggemar untuk Lintar. "Sekarang saya enggak pernah beli baju buat Lintar. Sebab kado-kadonya berisi baju, tas, sepatu, sajadah, boneka, figura. Banyak lah," kata Nilda polos. Menurut Nilda, penggemar Lintar menyukai suara anaknya dan bersimpati pada kisah hidupnya.
Oleh karena sering menemani Lintar, Nilda tak perlu membuat roti bakar lagi. Usaha roti kabar diambil alih oleh kerabatnya yang juga menjanda. Pemerintah Daerah Sumatera Barat dan perusahaan besar seperti Semen Padang pun banyak mendukung Lintar dan keluarganya.
Atas biaya dua instasi itu pula Nilda kini bisa memboyong ketiga adik Lintar ke Jakarta. "Dulu setiap saya dan Lintar berangkat ke Jakarta , Najwa sering menangis. Ia harus dibujuk dulu. Namun, adik-adik Lintar mengerti sekali, ini semua untuk masa depan mereka juga. Demi kebaikan bersama. Lintar ingin membiayai adiknya les menyanyi dan bahasa Inggris setelah berhasil."
Bantuan juga datang dari teman-teman Lintar. Di sekolah misalnya, "Dibuat kotak amal yang uangnya dibelikan pulsa untuk meng-SMS Lintar," ucap Nilda yang bersyukur Lintar tak merasa "lebih" setelah popular. "Ia biasa saja. Setiap pulang ia berseru ke teman-temannya, 'Woi, aku pulang!', lalu bergabung main bola atau layang-layang."
Lintar dan Nilda optimis bisa menjuarai Icil 3, tapi tetap terus berusaha dan tak mau meremehkan yang lain. "Semangatnya juara satu, tapi Lintar menilai semua temannya bagus-bagus, baik Rio maupun Alvin. Lintar mau berusaha dan berjuang dulu untuk memberi yang terbaik, agar jumlah SMS-nya tertinggi."
Setelah Lintar berhasil kelak, Nilda belum bisa membayangkan apa ia akan terus menemani Lintar berkarier di Jakarta. "Nanti Lintar akan bergabung dalam manajemen dari RCTI. Katanya, pekerjaanya akan banyak di Jakarta. Tapi, kalau tinggal di Jakarta biayanya pasti besar. Lalu adik-adiknya bagaimana? Saya masih bingung. Lihat saja nanti," ujar Nilda yang punya cerita lucu selama ia dan Lintar di Jakarta.
"Kami awalnya agak sulit soal makanan. Setiap makan kami pasti cari masakan Padang, walaupun RCTI sudah menyediakan nasi kotak. Soalnya, nasinya berbeda. Kalau nasi Padang, kan, kasar, sementara nasi kotak lengket di tangan. Tapi sekarang Lintar sudah mulai belajar makan nasi kotak," cerita Nilda.
Wah, adaptasi makanan sepertinya jadi prioritas pertama sebelum berkarier di Jakarta, ya Lintar.
Ahmad Tarmizi
KOMENTAR