Cerita perjuangan Mbah Surip bertahan di Jakarta juga dikisahkan Isman (45), mantan tetangga Mbah Surip di Mojokerto yang sempat menggelandang bersama si rambut gimbal medio 1984. Kala itu, bapak empat anak yang kini menekuni dunia pengobatan alternatif ini, baru saja tamat SLTA dan hijrah ke Jakarta.
Isman muda yang saat itu tak punya pekerjaan, bergabung dengan Mbah Surip, mengamen dari satu tempat ke tempat lain. "Enggak cuma di Bulungan, tapi juga di Blok M, Blok A, bahkan sampai Pasar Baru, Jakarat Pusat," kisah Isman yang kini tinggal di Tangerang saat berbincang khusus dengan Tabloid Nova.
Banyak kenangan indahnya bersama Mbah Surip. Salah satunya, saat ia bertanya apa yang akan mereka makan jika satu hari tak dapat duit sama sekali. "Tenang, meski kita ngamen, soal tidur dan makan tidak usah dipikir. Urusan makan, kita tidak pernah makan yang tidak enak. Dan semua itu gratis!" Isman menirukan jawaban Mbah Surip.
Ternyata yang dimaksud makan enak dan gratis itu adalah makan makanan sisa dari warung-warung di sekitar Bulungan. "Waktu itu, hubungan Cak Surip dengan para pemilik warung sudah sangat dekat. Jadi, kalau ada pembeli yang makanannya tidak habis, misalnya sate tinggal beberapa tusuk, oleh penjualnya tidak dibuang ke tempat sampah, tapi diberi ke kami," cerita Isman yang biasa diajak Mbah Surip tidur di emperan toko yang sudah tutup.
Yang lucu lagi, soal peralatan mandi. Mulai dari sikat gigi, pasta gigi, sabun, dan handuk kecil, tiap hari dimasukkan si Mbah ke dalam gitarnya dan dibawa ke mana-mana. "Katanya, soal mandi kan, bisa di ponten-ponten, (dimana-mana)" ujar Isman yang sering dicurhati Mbah Surip tentang kepedihannya dijauhi istri dan anak-anaknya.
"Kalau mendengar perjalanan hidup Mbah Surip, sangat nelangsa sekali. Tapi saya kagum karena orangnya sangat sabar dan tidak mau menunjukkan kesedihan di depan orang lain," ujar Isman dengan mimik serius ketika diwawancarai Nova. Isman terakhir bertemu Mbah Surip dua bulan lalu.
Gandhi
KOMENTAR