Kru Dreamlight ketar-ketir. Hingga H-1 syuting acara Tukar Nasib (TN), tim ini belum juga mendapat talent orang kaya yang mau bertukar nasib dengan Tumino, seorang pekerja topeng monyet. Untung, Jumat (17/4) malam, tim menemukan talent yang dicari.
Jadilah Tumino bertukar nasib dengan Sudharmo yang sehari-hari menjadi manajer pabrik plastik. Meski sudah mendapat talent orang kaya, tim harus bekerja cepat karena Sudarmo dan istrinya hanya memberi waktu sebentar. Maklum, mereka akan mengawinkan anaknya.
Situasi yang membuat jantung berdebar keras karena susah mendapat talent orang kaya, sudah kerap dialami kru acara ini. Pernah, talent si kaya diperoleh kepastiannya sekitar pukul 24.00, saat kru pasrah tak bakal jadi syuting. "Memang itulah salah satu kendalanya," kata Landung, produser TN. Masalah waktu, juga cenderung jadi pertimbangan utama buat si kaya untuk ikut TN, selain pertukaran profesi dengan si miskin. Untuk itu, kru TN pun harus terus mencari dan mempersuasi para orang kaya itu.
Umumnya, orang kaya yang mau terlibat di TN, punya misi moral buat keluarganya. Seperti mengajarkan ke anak, istri, atau suaminya, tentang kepedulian terhadap masyarakat sesama yang miskin. "Saya ingin anak-anak punya simpati terhadap rakyat kecil. Saya ingin tahu, siapa anak saya yang memiliki mental yang kuat," begitu kata Hebta, pengusaha yang pernah bertukar nasib dengan keluarga nelayan. Keikutsertaan keluarganya di TN pun, dianggap Hebta cukup berhasil mengubah perilaku anak-anaknya.
Caleg Minta Main
Menyadari sulitnya menjadwalan waktu buat keluarga mapan, belakangan ini syuting TN tak lagi dilakukan selama 3 hari, melainkan sehari semalam (apalagi Dreamlight harus menyediakan 2 episode per minggu). Padahal, di episode-episode awal, karena tak terikat oleh waktu, syuting dilakukan hingga seminggu lebih. Masing-masing keluarga "dilepas" begitu saja di kehidupannya yang baru. Hal ini dilakukan, karena kru TN masih mencari-cari pola tayangan ini. "Sekarang, tak terlalu penting berapa lama syuting berlangsung, tapi bagaimana TN memberikan inspirasi buat penonton," kata Landung.
Lucunya, di saat kesulitan memperoleh talent keluarga kaya, saat kampanye pemilu beberapa waktu lalu, ada sejumlah calon legislatif (caleg) yang dengan suka rela melamar. Mereka memang memenuhi kriteria sebagai orang yang berada, namun karena dicurigai membawa kepentingan pribadi sebagai caleg, akhirnya ditolak. Konon, ada yang memohon-mohon, dengan alasan anaknya yang merengek-rengek ingin ikut serta TN.
Seiring makin populernya TN, kata Eko Nugroho, bos Dreamlight, ada pejabat daerah dan pengusaha kelas kakap yang ingin ikut TN. Tapi, lagi-lagi, karena persoalan waktu, penjadwalan syuting mereka belum bisa dipastikan. TN pun berencana mengikutsertakan talent dari kalangan artis terkenal dari Jakarta. Rencana ini membuka peluang TN tak lagi bekerja di sekitar Semarang.
Sebetulnya, "Siapa saja bisa jadi talent TN. Syaratnya cuma satu, mau menghargai perbedaan," tutur Eko, penggagas TN. Ide TN diperoleh Eko dari mengamati kehidupan sekitar. "Banyak orang yang cenderung tak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Impian yang telah diperoleh dengan banyak pengorbanan, ternyata tak membuat hidupnya tenang dan nyaman. Ada insinyur yang mengeluh ingin bisa tidur nyenyak seperti tukang becak," cerita Eko sambil tertawa. Sementara sang tukang becak, mungkin menganggap hidup sebagai insinyur enak.
Kesimpulan Eko, setiap orang punya kesukaran, hanya saja orang kadang dipandang dari "luarnya" saja. "Kalau melihat tayangan ini, ya Allah, kalau sudah berpakaian lusuh, kita semua sama," ujar Eko yang juga ikut mengotaki reality show Minta Tolong, Bedah Rumah, dan Lunas.
Masih kata Eko, TN diawali dengan pertukaran keluarga. "Untuk selanjutnya, bisa pertukaran peran majikan dengan pembantu, anak dengan ibunya, atau caleg yang menang dengan caleg yang kalah," kata Eko yang berharap setiap reality show hasil produksinya memberi inspirasi dan membuat orang menjadi lebih baik.
Ahmad Tarmizi
KOMENTAR