Anak adalah anugerah dan titipan Tuhan yang harus dijaga, dididik, dan mendapat kasih sayang paripurna dari orangtuanya. Sebagian dari pasangan suami-istri dikaruniai anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada pasangan yang ikhlas menerimanya. Satu sama lain mendukung sang buah hati sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin.
Akan tetapi, ada juga pasangan yang “pesimis”. Salah satu pihak, belum atau tidak sanggup menerima kenyataan. Hal tersebut memicu konflik-konflik dalam diri sendiri bahkan konflik dengan pasangan.
Kendala Psikologis
Farida Tjandra, M.Psi. memaparkan ada beragam kendala psikologis yang muncul dalam diri sendiri, di antaranya merasa bersalah, malu, merasa sebagai “aib”, merasa tak berdaya dengan kondisi ini. Marah terhadap situasi, pihak profesional (dokter), bahkan kepada Tuhan.
“Selain itu, bisa juga muncul ketakutan akan masa depan anak, bingung karena akan menghadapi berbagai hal yang baru mulai dari diagnosa, terapi, penanganan terhadap anak dan berbagai hal lain yang akan sangat berbeda dalam mengasuh ABK,” terang Farida.
Penolakan terhadap diagnosa pihak profesional (dokter) dapat menyebabkan anak tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk menjawab kebutuhannya. Dalam kondisi yang lebih ekstrem, bisa terjadi penolakan terhadap anak (bahkan penolakan sejak hamil bila masalah sudah terdeteksi sejak janin) dan berharap agar anak tersebut meninggal.
“Kendala-kendala tersebut sebagian besar adalah wajar, tetapi tentu perlu ditangani. Bila dibiarkan akan mengganggu fungsi sebagai orangtua maupun perkembangan ABK itu sendiri,” ujar Farida.
Apalagi jika muncul pula konflik-konflik dengan pasangan. Misalnya, saling menyalahkan, salah satu pihak tidak/kurang mendukung atau cuek dengan anak dan pasangannya, masalah finansial, hingga masalah dalam seksualitas dimana pasangan terlalu berfokus untuk menjawab kebutuhan ABK dan melupakan kebutuhan pasangan. Konflik ini pun tak jarang berujung pada perceraian.
Bagi Perhatian
Hal utama yang perlu dimiliki pasangan dalam menghadapi masalah rumah tangga adalah suatu komitmen. Begitupun ketika pasangan dikaruniai ABK. Reaksi awal, pasangan suami-istri akan berfokus kepada kebutuhan sang buah hati.
“Namun, sangat perlu diingat bahwa suami-istri tidak bisa selamanya hanya berfokus kepada ABK. Mereka perlu mulai secara bertahap membagi perhatian kepada pasangan dan anak lainnya.”
Begitu pula bila ternyata pasangan saling menyalahkan. “Yang perlu dipahami bersama bahwa dalam menghadapi dan memecahkan masalah bukan, ‘Siapa yang salah?’ tetapi berfokus kepada ‘Bagaimana pasangan memecahkan masalah ini?’”
Ada beberapa hal yang perlu dipahami pasangan. Hal pertama, pernikahan mereka sangat berharga untuk tetap dijaga. Jadi, tidak peduli seberapa besar kebutuhan energi, waktu dan pemikiran mereka terhadap anak, selalu beri perhatian pada kebutuhan pasangan.
“Sediakan waktu setidaknya 20 menit setiap hari untuk berkomunikasi dengan pasangan, tanpa membicarakan tentang anak. Hal ini untuk membangun lagi hubungan seperti pada masa awal ketika pasangan suami istri jatuh cinta.”
Kedua, dalam memutuskan berbagai hal untuk anak selalu libatkan pasangan. Terima dan hargai berbagai hal yang berbeda mengenai apa yang terbaik untuk anak karena masing-masing memiliki pendapat dan pengharapan yang berbeda meski tujuannya sama, yaitu memberi yang terbaik untuk anak.
“Ketiga, suami-istri masing-masing perlu untuk bisa berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan dengan pasangan, menata hati dan pikiran untuk bersama-sama menerima kondisi anak apa adanya. Keduanya menerima karunia Tuhan ini dengan segala keterbatasan dan keunggulan yang ada pada ABK. Alhasil, suami-istri dapat berkolaborasi mengupayakan membesarkan buah hati yang spesial ini seoptimal mungkin,” urai Farida.
Aturan Jelas
Pasangan tentunya juga perlu menentukan sikap yang berbeda manakala memiliki ABK dan tidak. Misalnya, satu ABK yang harus menghindari makanan-makanan tertentu. Sebaliknya, saudara kandungnya tidak perlu aturan seperti itu. Orangtua perlu menjelaskan pada saudara kandung ABK ini (baik kakak atau adiknya) bahwa saudaranya berbeda.
“Salah satu contoh, orangtua dapat mulai menerapkan suatu jadwal dan aturan bagi setiap anak. Jadwal dapat dituliskan secara jelas sehingga anak dapat memahami perbedaan jadwal yang ia miliki dengan saudaranya.”
Dengan aturan yang jelas, masing-masing anak dapat memahami ekspektasi orangtua terhadap dirinya, kebutuhan diri dan saudaranya juga dapat dipenuhi secara seimbang. Kuncinya, lakukan semua ini dengan konsisten dan tegas.
Selain itu, sediakan informasi dan waktu untuk berbicara kepada anak secara terbuka mengenai kondisi saudaranya yang ABK. Sesuaikan pembicaraan dengan tingkat perkembangan anak. Pada anak balita, cukup dijelaskan bahwa adik/kakak mereka memerlukan kebutuhan tertentu yang berbeda dengan anak lainnya.
Untuk anak yang lebih besar, orangtua perlu menyediakan waktu secara berkala untuk membicarakan perasaan mereka ketika memiliki saudara dengan kebutuhan khusus. “Karena seringkali dalam diri mereka muncul ambivalensi. Satu sisi ia tahu bahwa harus mengasihi saudaranya yang ABK. Namun di sisi lain dapat muncul rasa malu, iri hati, bahkan kebencian terhadap saudaranya itu. Siasati dengan memberikan informasi yang jelas pada anak dan libatkan anak memenuhi kebutuhan saudaranya yang ABK.”
Komunitas Suportif
Selain konflik dengan diri dan pasangan, terkadang muncul juga kendala dengan lingkungan luar, misalnya mendapat perlakuan kurang adil dari keluarga entah itu keluarga istri/suami atau bahkan mendapat bully dari lingkungan.
“Yang dapat orangtua ABK lakukan dalam menghadapi lingkungan yang tidak suportif adalah memaafkan mereka. Sediakan waktu lebih banyak untuk berelasi dengan orang-orang yang mendukung dan memiliki pengalaman serupa,” cetus Farida.
Dengan menyediakan waktu lebih banyak dengan komunitas yang suportif, orangtua akan memiliki kesempatan untuk me-recharge baterai kehidupan mereka.
“Yang jelas, ketika pasangan dikaruniai ABK maka Tuhan pasti melihat bahwa mereka berdua dapat diberikan kepercayaan yang spesial ini. Bila kepercayaan dan anugerah dari Tuhan ini diterima sepenuh hati dan dijalani dengan sebaik-baiknya, pasti kebaikan menyertai kehidupan keluarga.”
Tak kalah penting, ABK justru akan mengajarkan bagaimana cinta dan penerimaan yang sesungguhnya. Pasangan suami-istri akan sangat belajar untuk mencintai dan menerima anak apa adanya tanpa mengharapkan timbal balik dalam bentuk apapun.
“Banyak juga orangtua yang dibentuk dari keberadaan ABK dalam kehidupannya. Mereka menemukan diri lebih dewasa, lebih sabar, sifat-sifat buruk mereka lambat laun mulai berkurang serta lebih mudah berempati terhadap kebutuhan orang lain.”
Hilman Hilmansyah
KOMENTAR