Sebetulnya, sejak Agustus silam Rudyanti Dorotea Tobing (48) sudah merasakan kabut asap yang memasuki Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mengira kabut asap itu sama seperti yang terjadi setiap tahun, perempuan yang biasa disapa Antie itu tak menganggapnya serius. “Biasanya cepat berlalu. Sekolah memang sempat diliburkan beberapa hari,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (9/10). Namun, kali ini dugaannya salah.
Ternyata, makin lama kabut asap makin tebal menyelimuti Palangkaraya. Awal September, siswa sekolah mulai dari TK sampai SMA diliburkan. Mulanya libur hanya dua minggu, tapi kemudian ditambah lagi selama satu bulan.
Antie memiliki empat anak. Anak sulungnya kuliah di Jawa dan anak keduanya duduk di bangku SMA di pulau yang sama. Sementara, anak ketiga yang duduk di kelas 3 SMP dan anak bungsunya yang masih kelas 5 SD tinggal bersama Antie dan suaminya di Palangkaraya. Libur sekolah kali ini bukan berarti anak-anaknya bisa bersenang-senang. Sebaliknya, sungguh menyiksa anak-anaknya karena sebetulnya tidak banyak yang dapat dilakukan mereka, juga siswa-siswa lain yang diliburkan akibat kabut asap.
“Waktu libur seminggu pertama, siswa diberi PR dan harus diambil orangtua di sekolah. Begitu pula ketika libur kedua dan libur sebulan. Selama libur, anak-anak harus mengerjakan PR banyak banget, padahal materinya belum pernah diajarkan di sekolah. Sehingga, mereka tidak paham dan tidak tahu cara mengerjakannya. Anak saya sampai menangis karena takut dimarahi gurunya saat masuk sekolah. Jadi, selain stres karena kabut asap, juga karena PR. Saya juga tidak tahu, jadi terpaksa mencari teman lain untuk menjawab PR itu,” papar Antie panjang lebar.
Bermain di luar rumah pun tak memungkinkan. Udara yang tidak sehat membuat para orangtua melarang anak-anak mereka keluar rumah. “Begitu keluar rumah, udara langsung enggak enak. Biasanya, banyak anak yang bermain di depan rumah, main sepeda, atau lainnya. Sekarang tidak ada. Kegiatan belajar dan bermain anak sangat terganggu. Pasar pun sepi. Aneh dan ngeri rasanya kota ini.”
Di Kamar Lebih Aman
Kumpulan anak-anak justru banyak ditemukan di pusat perbelanjaan, terutama di toko yang menyediakan berbagai macam permainan. “Mereka juga diantar orangtua. Di sana malah penuh, mungkin mereka bosan di rumah terus. Mau ajak anak-anak berenang tidak mungkin,” imbuhnya sambil menambahkan, sama seperti anak lainnya, kedua anaknya pun tak punya banyak pilihan selain lebih banyak berdiam di rumah. Padahal, ruang tamu juga tercium asap.
“Di kamar masih lebih aman karena ada AC. Jadi, kami hanya di kamar, AC terus-menerus dinyalakan. Tapi bagi orang-orang yang tidak punya AC atau di pinggir sungai, paparan asapnya lebih parah lagi. Mereka inilah yang banyak terpapar ISPA. Orang-orang yang mengidap asma, termasuk anak-anak, banyak yang diungsikan ke Jawa,” papar Antie yang terus mengawasi anak-anaknya agar tak keluar rumah dan memberi vitamin untuk menjaga kondisi tubuh.
Perempuan yang berprofesi sebagai dosen ini menambahkan, kabut asap kali ini merupakan yang terparah sepanjang 15 tahun ia tinggal di Palangkaraya. Meski kini kabut asap sedikit berkurang di kotanya dan Selasa (7/10) silam kegiatan sekolah sudah kembali dimulai, Antie mengaku tetap prihatin. “Anak bungsu saya sekolah di SD Negeri yang jendelanya hanya kawat, bukan kaca. Tentu asapnya masuk ke ruang kelas, walaupun anak saya tidak mempermasalahkan hal itu.”
Padahal, imbuhnya, sebagai dosen, ia mengajar di kelas tidak ber-AC yang membuatnya sesak napas ketika bicara. “Mau pakai masker, enggak enak. Enggak pakai masker, sesak napas,” keluh lulusan Universitas Padjajaran Bandung ini.
Yang paling dikhawatirkan perempuan berdarah Batak ini adalah kondisi fisik anak-anaknya kelak, mengingat dampak kabut asap yang berbahaya. “Kalau begini terus-menerus, kesehatan anak-anak bisa menurun. Ini mengerikan. Rasanya ingin menyekolahkan mereka ke Jawa, tapi mereka masih terlalu kecil. Lagipula, mengungsikan anak-anak pun sulit karena orangtua yang bekerja tidak mendapatkan dispensasi dari kantor untuk itu.”
Antie berharap kabut asap di Palangkaraya segera hilang. Pemerintah dianggapnya gagal memenuhi hak asasi warga Palangkaraya karena sangat terlambat menangani dan cenderung membiarkan kasus ini. “Saya harap ini tak terulang. Harus ada tindakan tegas dan adil.”
Bisnis Terganggu
Senada dengan Antie, Indrawati Ismail, ibu rumah tangga yang sudah tinggal di Pekanbaru selama 15 tahun pun mengungkapkan kegelisahannya soal kabut asap. Ibu dari Aura Thalita Siregar ini mengungkapkan, tak hanya aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dan pemilik usaha Rumah Aura Laundry yang terhambat gara-gara asap, tetapi juga aktivitas buah hati yang masih duduk di kelas 2 SD Future Islamic School.
“Bayangkan, selama berbulan-bulan kami tidak lagi melihat langit biru. Semua putih. Asap juga membuat kesehatan menurun. Beberapa minggu lalu saya berniat memeriksakan Aura dan suami, soalnya Aura sudah mulai batuk dan pilek jadi saya agak khawatir. Sayangnya sampai saat ini belum sempat ke RS karena jarak pandang hanya 20 meter,” jawabnya.
Istri dari Deddy Siregar yang akrab disapa Iit ini juga menceritakan aktivitas sekolah anaknya yang jadi terhambat. “Sebulan ini baru seminggu masuk, itu pun pukul 10.00 kami diminta menjemput anak karena asap mulai mengganggu. Walaupun fasilitas di sekolah sudah komplet tapi karena kesehatan anak-anak lebih utama, maka kegiatan sekolah diliburkan,” katanya. Beruntung, sekolah menawarkan kebijakan yang cukup baik. “Biarpun enggak sekolah, anak-anak tetap diberi tugas. Orangtua yang mengantarkan tugasnya ke sekolah,”ceritanya.
Beberapa ibu rumah tangga lain di lingkungan Iit lebih memilih memesan makan dengan memanfaatkan jasa pengiriman. “Cari sayur dan lauk saja susah buat keluar. Masker juga menambah pengeluaran ekstra. Biarpun kecil tapi ini jadi beban tambahan,” sahutnya.
Iit yang memiliki bisnis laundry juga mengeluh dampak asap terhadap bisnisnya. “Bisnis menurun, biasanya banyak seragam anak sekolah yang di-laundry, sekarang karena tidak ada aktivitas di sekolah jadi tidak ada yang butuh jasa laundry,” tuturnya seolah curhat.
Iit mengaku biasanya maklum menghadapi bencana asap, tapi tahun ini ia sangat kesal karena tiga kali lebih parah dari bencana asap yang pernah terjadi. “Mau gimana lagi, harus diterima. Mau mengungsi pun enggak bisa, pesawat tidak bisa terbang, anak juga masih ada aktivitas. Kalaupun lewat jalur darat juga banyak yang harus dipersiapkan. Solusinya sementara ya bertahan dan berdoa semoga hujan segera turun. Kami sudah penat dengan asap,” keluhnya.
Terpaksa Mengungsi
Pekatnya kabut asap di Jambi membuat Bernike Imanuel (28) memutuskan untuk sementara “pindah” ke Jakarta. Bersama seorang anak dan ayah mertuanya, Bernike meninggalkan Jambi karena sudah tidak tahan. Hampir seminggu belakangan ini ia menumpang tinggal di rumah saudaranya di kawasan Jakarta Barat.
Dikatakan Bernike, setiap tahun wilayah Jambi dan sekitarnya memang akrab dengan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. “Tapi tahun ini paling parah. Asap tahun ini sebenarnya sudah muncul sejak Juli tapi masih tipis, enggak terlalu terasa. Agustus asap semakin tebal dan bulan ini abu masuk rumah. Rumah jadi kotor walau dibersihkan setiap hari,” terangnya.
Akhir Agustus, di dalam rumah Bernike dan keluarganya harus pakai masker. “Repot kalau mencuci baju, begitu dijemur kotor lagi dan bau asap. Jadinya saya jemur di dalam rumah dan saya keringkan pakai kipas angin. Anak saya, Nicholas Naftalie (2), batuk pilek dan terpaksa harus saya taruh di dalam kamar terus. Akhirnya saya memutuskan mengungsi dulu ke Jakarta sampai kondisi membaik.”
Perjalanan menuju Jakarta juga tidak bisa langsung dari Jambi. “Saya harus lewat darat dulu 6 jam ke Palembang. Sampai Palembang bandara belum buka. Dari Palembang naik pesawat ke Jakarta. Penerbangan Jambi ke Jakarta sudah sebulan lebih ini enggak ada,” beber perempuan yang sudah lima tahun belakangan ini tinggal di kawasan Jalan M. Yamin, Jambi itu.
Akibat asap, Bernike merasa aktivitas sehari-harinya terhambat. “Apalagi anak-anak yang masih sekolah. Keponakan saya yang sekolah kadang masuk dan kadang diliburkan, semua terbatas. Tadinya saya mau ajak mereka semua ke Jakarta tapi mereka enggak mau karena sudah kelas 3 SMP dan dua lagi duduk di bangku SMA dan mau ujian. Katanya kalau di Jakarta dan tiba-tiba ada ujian, masak mereka enggak ikut ujian?”
Cuaca panas ditambah kabut asap tebal tak hanya membuat jarak pandang terbatas tetapi juga menimbulkan rasa tidak nyaman saat beraktivitas di luar rumah. Setiap kali keluar rumah, “Kami selalu menggunakan masker karena enggak tahan. Meski begitu, dada saya masih saja sakit saat bernafas,” tambah Lie Mo Sang (77), mertua Bernike yang lahir dan besar di Jambi.
Bernike belum bisa memastikan kapan dirinya akan kembali ke Jambi. “Saya sih berharap lebih cepat lebih baik, mudah-mudahan juga cepat turun hujan. Belum lagi air sumur juga kering, listrik juga dipadamkan secara bergilir selama 2 atau 5 jam,” katanya.
Ira Riswana: Antisipasi Oksigen
Mantan model dan pesinetron Ira Riswana yang menjadi warga Riau, mengikuti sang suami, Abubakar Terusi, yang berdinas di Riau sejak sebulan silam, ikut menjadi korban kabut asap akibat kebakaran hutan yang melanda kawasan itu.
Ibu dari 4 anak, Akbar (13), Maliq (11), Ilyas (9), dan Yusuf (5) ini mengatakan dua anaknya terserang ISPA, bahkan salah seorang di antaranya terpaksa dilarikan ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan penanganan intensif. “Sudah banyak lo, foto-foto tentang korban di sana yang diunggah di Facebook maupun koran. Foto itu bukan editan. Itu orisinil, apa adanya,” jelas Ira saat ditemui di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (9/10).
Kegeraman Ira bukan tanpa alasan. “Di sana asap pekat banget. Jarak pandang cuma 10 – 50 meter. Kemarin mau naik pesawat saja kayak naik bis. Mestinya berangkat pukul 09.00, ditunda jadi pukul 11.00. Eh, di tunda lagi pukul 13.00,” katanya sewot. Selain karena ISPA, kabut asap juga membuat jadwal sekolah anak-anaknya kacau selama hampir dua bulan karena sering mendadak diliburkan. “Kalaupun sekolah, harus pakai masker karena udara yang dihirup sudah tidak lagi nyaman dan bersih.”
Ira sendiri bukannya berpangku tangan, sebaliknya ia bahu-membahu bersama warga membantu membagikan masker, meski dirasakannya bukan jalan keluar. “Pembagian masker tidak ada gunanya kalau sumber asap tidak diatasi,” ujar Ira yang sudah membagikan ribuan masker kepada anak-anak sekolah. “Anak-anak itu disebut penerus bangsa, tapi gimana mau jadi penerus bangsa wong udara yang mereka hirup aja begitu,” tambahnya.
Ira bertambah kesal lantaran tidak sedikit orang yang menganggap kabut asap akibat kebakaran hutan semata-mata adalah bencana alam. “Kalau gunung meletus, saya percaya itu bencana alam. Ini kebakaran hutan! Asap rokok saja bisa menyebabkan banyak penyakit, ini kebakaran hutan berhektar-hektar selama berbulan-bulan,” ujar Ira. “Gimana anak-anak bisa sembuh wong begitu keluar rumah sakit terpapar asap lagi?”
Sejak bencana asap memasuki rumahnya, Ira sendiri sudah melakukan antispasi dengan menyediakan tabung oksigen. “Oksigen selalu ready, mulai tabung gede hingga tabung yang bisa dibawa ke mana-mana. Bayangkan mereka yang enggak mampu beli oksigen. Gue beruntung bisa bawa anak gue ke Jakarta, bagaimana dengan anak-anak yang penghasilan orangtuanya hanya cukup buat makan sehari-hari,” jelas Ira yang berada di Jakarta sejak awal Oktober lalu.
Hasuna Daylailautu, Swita Amallia, Tumpak Sidabutar
KOMENTAR