Ciri khas iga bakar milik Haryanto adalah cara pembakarannya yang berbeda dari tempat lain. Sebab, gerabah yang menjadi wadah ikut dibakar bersama makanannya. “Itu sebabnya, sejak awal sampai akhir disantap makanan masih tetap panas dan aromanya lebih sedap,” imbuhnya sambil menambahkan, sate sengaja disajikan tanpa tusuk dan iga bakar daging sapi sengaja disajikan tanpa tulang supaya porsinya lebih banyak dan lebih mudah disantap.
Haryanto juga menjamin iga bakar kambing yang dijualnya tidak berbau prengus. “Sebab, saya menggunakan rempah yang kuat dan bumbu dapur. Dagingnya bisa empuk karena dimasak lama sejak pagi sampai pukul 11.00, lalu api dimatikan. Baru sorenya daging diangkat. Sampai sekarang, yang bikin bumbu masih tetap saya agar rasanya tetap terjaga,” ujar pria yang tahun depan berencana membuka waralaba di luar Bandung ini.
Kambing Bakar Cairo, Terlezat Ke-2 Se-Timur Tengah
Bila Anda ingin menikmati kambing dengan rasa yang berbeda, datanglah ke Kambing Bakar Cairo. Bukan berarti rumah makan ini berasal dari Mesir, lo. Novel Cholid (42), pemiliknya, memberi nama demikian pada rumah makannya karena keluarganya memang berasal dari Timur Tengah. Itu sebabnya pula, kambing bakar yang menjadi kuliner khas Timur Tengah menjadi pilihan Novel untuk berbisnis.
Sama seperti Haryanto, Novel juga mengikuti jejak orangtuanya berbisnis kuliner. Resep kambing bakar yang menjadi menu andalan Novel pun ia dapat dari ibunya, yang sudah lebih dulu membuka rumah makan kambing bakar di Cirebon. “Saya kemudian tinggal terpisah dari ibu dan memilih tinggal di Bandung. Di kota ini, saya membuka rumah makan kambing bakar sendiri bersama partner,” ujar Novel.
Jangan membayangkan kambing bakar di restoran ini memiliki warna cokelat karena gosong, ya. Penampilannya lebih mirip dengan daging ungkep, tapi rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu terserap dengan baik dan menimbulkan aroma khas yang membuat perut tak sabar ingin segera mencicipi. “Sebelum dibakar, daging direbus terlebih dulu dengan rempah-rempah,” tuturnya.
Novel menjamin tak perlu khawatir mencium bau prengus atau kadar kolesterol naik setelah menyantap kambing bakarnya. Rahasia di baliknya, menurut Novel, adalah pemilihan kambing di bawah usia enam bulan. “Kambing yang digunakan usia 4-6 bulan, sehingga lemaknya hanya sedikit. Lemak ini lalu dinetralisir dengan rempah-rempah khas Timur Tengah dan dibakar, sehingga kadar kolesterol maupun bulu kambingnya hilang. Jadi, aman dikonsumsi.”
Novel menambahkan, ia melakukan penyaringan kolesterol sampai tiga kali selama proses memasak. Lantaran kambing yang dipilih masih muda, imbuhnya, bau prengus-nya juga tidak ada. Ia juga mengaku hanya menggunakan daging kambing berkualitas terbaik dengan bobot 5-6 kg per ekor tanpa kepala, kaki, maupun jeroan.
Harus Halal
Paduan kualitas dan bumbu yang pas menciptakan kambing bakar dengan tekstur daging yang sangat lembut dan rasa lezat. Bahkan, tulang iga yang menempel pun bisa ikut dihabiskan karena sangat lunak. Untuk mempertahankan rasa daging yang sudah gurih dan lezat, Novel sengaja tak mau membumbuinya secara berlebihan. Itu sebabnya, tidak ada penggunaan saus di Kambing Bakar Cairo. Inilah yang menjadi ciri khasnya. Kecap manis, irisan cabai rawit, dan merica bubuk yang ditempatkan dalam tatakan kecil hanya sebagai pelengkap.
Tak heran, Novel berani menulis slogan “Terlezat ke-2 se-Timur Tengah” di bawah nama rumah makannya. Kok, nomor dua? “Yang nomor satu di Timur Tengah,” ujar Novel lalu tergelak. Untuk memastikan pelanggannya mendapatkan daging kambing terbaik, Novel sengaja melakukan survei sendiri ke pemasok daging kambingnya.
“Harus halal, termasuk cara memotongnya. Saya harus melihat langsung cara pemotongannya. Kalau tidak halal, saya tidak mau,” tandas Novel yang tak khawatir kehabisan pasokan daging karena memiliki 5-6 pemasok. Kelezatan kambing bakarnya membuat banyak orang yang ketagihan. Berawal dari rumah makan pertama yang ia buka di daerah Geger Kalong Hilir, Bandung delapan tahun silam, kini Novel memiliki enam cabang rumah makan.
Tiga cabang di Bandung, yaitu di Jalan Gegerkalong Hilir, Jalan Cihampelas, dan Jalan Cihapit. Sisanya berada di Jakarta, yaitu di Kelapa Gading, Jalan Wolter Monginsidi, dan Jalan Sambas III. Pada hari biasa, lanjutnya, satu cabang menghabiskan 8 ekor kambing. Sedangkan pada hari libur mencapai 12-15 ekor per cabang. Kambing bakar Cairo sendiri tersedia dalam bentuk iga, punggung, dan paha.
Masing-masing memiliki tiga ukuran yaitu small dengan berat 250 gr, medium 350 gr, dan large seberat 500 gr yang bisa disantap berdua. Harganya cukup terjangkau. Untuk ukuran small, harga punggung Rp47.000, iga Rp48.000, dan paha Rp50.000. Sementara, harga medium untuk punggung Rp71.500, iga Rp72.500, dan paha Rp76.000. Lalu, untuk ukuran large atau besar harga punggung Rp92.000, iga Rp94.000, dan paha Rp98.000.
Di samping kambing bakar, tersedia juga kambing goreng yang penampilannya tak jauh berbeda dari versi bakarnya. Selain itu, ada pula nasi goreng kambing, gulai, tongseng, soto Mesir, dan roti cane. Semuanya dengan rempah yang cukup terasa dan harganya terjangkau.
“Selain pengunjung yang datang dari berbagai kota terutama Jakarta, kambing bakar kami biasanya juga dipesan antara lain untuk acara arisan, rapat, pertemuan, dan pernikahan,” tuturnya. Untuk pernikahan biasanya pemesanannya per ekor dan kami kirim ke lokasi beserta kokinya,” pungkas Novel yang membuka rumah makannya setiap hari pukul 11.00-22.00, kecuali Jumat mulai pukul 13.00.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR