Ternyata banyak yang suka. Kemudian, produksi meningkat jadi 20 buah. Lagi-lagi habis. Rupanya, tas kami mulai disukai orang. Jumlah tas yang diproduksi terus bertambah sampai akhirnya sekali produksi kami membuat 100 buah tas. Ketika itulah, kami mulai pameran. Pertama kali ikut pameran, kami dibantu Pemerintah Kota Cimahi, yaitu Pekan Raya Jakarta (PRJ) tahun 2006.
Kami membawa 132 buah tas yang habis sebelum acara PRJ berakhir. Untuk mengatasi kelangkaan barang, kami ambil tas-tas Maika yang dititipkan secara konsinyasi ke saudara dan teman-teman. Pernah, dalam sehari semua tas yang kami bawa ludes terjual saat pameran di Gasibu, Bandung. Padahal, pameran berlangsung selama dua hari. Hari kedua kami kebingungan karena barang sudah habis.
Mau bikin lagi, kapasitas produksi tidak memungkinkan karena kami masih terkendala modal. Kami memang aktif ikut pameran. Karena tidak memiliki toko sendiri, kami memilih cara konvensional untuk mempromosikan produk, yaitu dengan berburu informasi pameran. Waktu itu, brosur yang kami buat pun masih sederhana, hanya dicetak lalu difotokopi. Yang penting, apa yang bisa dijalankan, kami jalankan.
Sejak itu, produk kami mulai dikenal. Produksi juga mulai rutin karena pesanan terus berdatangan. Kami tidak lagi menggunakan sistem konsinyasi karena ternyata tidak efektif. Perkembangan tas kami cukup menggembirakan. Akhirnya, untuk mendekati pembeli, kami menyewa kios di Pasar Baru, Bandung selama setahun. Seiring waktu berjalan, kami semakin tahu ke mana arah pangsa pasar tas kami.
Dari situlah, tahun 2008 kami mulai mencoba berjualan secara online dengan sistem distributor. Awalnya, suami mencoba beriklan di internet dengan ketentuan yang kami buat sendiri. Cara ini ternyata sangat efektif. Setiap hari, setidaknya kami bisa mendapatkan satu pesanan lewat internet. Ketika penjualan sudah dilakukan lewat distributor dan reseller, akhirnya toko di Pasar Baru kami tutup.
Manfaatkan Distributor
Tidak ada lagi sistem direct selling atau penjualan langsung, yang ada hanya lewat distributor dan reseller. Selain keterbatasan keuangan, saat itu penjualan sebulan di toko sama dengan penjualan sehari lewat internet. Jadi, buat apa toko diteruskan? Belum lagi, tenaga yang dikeluarkan untuk jaga toko dan sebagainya. Secara lokasi pun toko kami kurang strategis, karena terletak di lantai tiga, agak ke belakang, dan kecil. Jadi, nyaris tidak terlihat.
Namun, pengunjung yang ke toilet biasanya menoleh ke toko kami karena melihat tas yang berwarna-warni. Buat saya, itu berarti produk kami cukup eye catching dan diminati. Dulu memang terpikir harus bekerja sama dengan siapa. Kalaupun buka toko, pasti harus mengecek bagus tidaknya lokasi lebih dulu, bagaimana pangsa pasarnya, dan lainnya. Itu membuat kami memiliki terlalu banyak pekerjaan untuk dilakukan.
Lebih baik kami mencoba mendorong distributor untuk menjual produk kami. Kami meniru sistem waralaba meski tidak murni. Orang yang menjual produk kami harus membeli lisensi, juga memiliki stok awal untuk menguasai blocking area tertentu. Misalnya, untuk area Jabodetabek distributor ada di setiap kota, tapi di luar itu distributor hanya ada satu di tiap provinsi.
Syukurlah, ternyata banyak yang berminat untuk berinvestasi dan melakukan blocking area di daerahnya. Awalnya, kami mendapatkan distributor di Jakarta dan Surabaya. Peminatnya memang banyak karena waktu itu belum ada saingan untuk produk kerajinan buatan tangan dengan warna cerah seperti ini. Dari situlah, tas Maika mulai banyak peminatnya, termasuk yang ingin menjadi reseller.
(BERSAMBUNG)
Hasuna Daylailatu, Foto-foto: Agus Dwianto/Nova
(Nomor depan: Konsistensi akan kualitas yang baik membuat nama Maika makin berkibar di seluruh Indonesia. Tak hanya di kota besar, tas buatan Edwin dan Ika ini juga banyak dijual di kota-kota kecil. Produknya pun tak hanya sebatas tas kecil, melainkan sudah merambah ke travel bag dan lainnya. Tak hanya untuk perempuan, produk untuk pria muda pun kini tersedia.)
KOMENTAR