Polisi meyakini pemerkosa dan pembunuh Adinda Anggia Putri (12) adalah predator seks dewasa. Makanya, Polisi tak memasukkan pacar-pacar Adinda ke dalam daftar potential suspect (punya potensi jadi tersangka) dalam kasus ini.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Krishna Murti, mengatakan, pacar-pacar Adinda usianya masih sekolah dasar (SD), dan SMP. Makanya, pacar-pacar korban tak sesuai dengan dugaan Polisi terhadap latar belakang pelaku.
"Kalau kami duga, ini pelakunya adalah lelaki dewasa yang paedofil," ujar Krishna kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Minggu (1/11/2015).
Sementara itu, berdasarkan berbagai informasi, gaya hidup Adinda memang agak rumit. Setiap hari Dia hidup dengan 2 gaya berbeda. Dimana Adinda bergaul dengan anak-anak sebayanya, tetapi juga bergaul dengan orang-orang yang lebih tua darinya.
Baca juga: Benarkah Pembunuh Bocah Dalam Kardus Menderita Paedofil?
Kapolsek Jasinga, Ajun Komisaris Yayan Sopyan, mengakui hal itu. Yayan mengatakan, dari hasil penelusuran anak buahnya, di siang hari Adinda kerap pergi mengamen dengan anak-anak sebayanya yang sama-sama nongkrong di kawasan Pejompongan Indah, Kelurahan Bendhil, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Itu adalah lokasi kumuh yang dahulu pernah jadi salah satu titik lokalisasi prostitusi di Jakarta
Tapi, ucap Yayan, begitu malam hari tiba, Adinda berubah total dari seorang anak berusia SMP yang baru selesai SD. Dia bergaul dengan orang-orang dewasa yang usianya lebih tua darinya di malam hari.
Sebelumnya, Jenazah Adinda ditemukan dalam kondisi mengenaskan di areal lahan Perhutani RPH petak 17.a, Desa Pangaur, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jumat (23/10/2015). Saat ditemukan tak diketahui identitasnya.
Kemudian, baru pada Senin (26/10/2015) diketahui bahwa mayat yang ditemukan di areal lahan Perhutani itu adalah Adinda, warga Kelurahan Karet Tengsin, RT 04 RW 07, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat yang pergi dari rumahnya terakhir pada Kamis (22/10/2015) dan setelah itu tak pernah kembali lagi.
Theo Yonathan Simon Laturiuw / Wartakota
KOMENTAR