Menjadi Vice Chairwoman Martha Tillaar Group (MTG), bagi Wulan Tilaar bukanlah pekerjaan mudah. Enggan mendompleng nama besar sang ibu, Martha Tilaar, yang juga pendiri MTG, perempuan kelahiran Jakarta 13 Juli 1977 ini membuktikannya lewat kerja keras dan komitmen.
Berbagai inovasi sukses ia lakukan. Ibu dua anak ini juga terus belajar dan memberikan sentuhan baru tanpa meninggalkan visi dan misi perusahaan, yakni mempertahankan tradisi. Berikut perbincangan NOVA dengan Wulan Tilaar.
Boleh diceritakan awal karier Anda di MTG?
Saya memulainya dengan langkah kecil dulu. Biarpun ibu saya pemimpin di MTG, saya tidak seenaknya bisa langsung masuk menggantikan beliau. Tahun 2005, setelah lulus, saya bergabung di Art Department.
Namun, ternyata hanya berjalan empat bulan karena saya kurang tertantang dengan pekerjaan ini. Akhirnya saya memilih ke unit lain yaitu bisnis jasa spa yang lebih menantang.
Karena tidak memiliki ilmu tentang kecantikan, saya sekolah dulu di Puspita Martha International Beauty School. Biarpun sekolah milik sendiri, selain belajar tentang estetika kecantikan, saya juga bisa mengevaluasi untuk membuat sesuatu yang berbeda. Dan, sepertinya saya tertarik mendalami spa.
Anda juga serius belajar kecantikan hingga ke luar negeri?
Ya betul, sejak belajar spa dan ingin fokus di unit bisnis ini, saya memutuskan belajar lebih dalam lagi. Saya mengambil kursus singkat setahun di Cidesco, sekolah kecantikan yang diakui di 33 negara.
Selain untuk menambah pengetahuan, saya juga jadi tahu perkembangan dunia kecantikan secara global. Saya juga belajar soal teknologi kecantikan, meski memang tidak semua ilmu langsung diaplikasikan.
Martha Tilaar kan punya kulturnya sendiri dengan nilai tradisi, jadi ya difilter sesuai kebutuhan. Saya intens dan fokus mengembangkan spa hingga tahun 2009. Saya bertanggungjawab untuk Martha Tilaar Salon & Day Spa, Puspita Martha International Beauty School, Cipta Busana Martha Tilaar dan Art & Beauty Martha Tilaar.
Kapan Anda menjadi Vice Chairwomen?
Setelah proses yang cukup panjang, akhirnya saya diminta menjadi Vice Chairwoman. Bukan saya saja tetapi juga kakak dan adik saya. Sejak kecil kami memang disiapkan untuk terlibat di perusahaan. Buat saya, ini kepercayaan besar jadi saya harus siap, meski sempat ada pergumulan hebat di hati saya.
Kenapa?
Ibaratnya seperti tertimpa batu gede. He he he. Saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Ibu Martha Tilaar yang super women dan "wow". Beliau ini enggak pernah capek dan selesai mengerjakan segala sesuatu, tetapi juga memiliki passion yang kuat.
Untungnya banyak teman yang mendukung dan menunjukkan bahwa jangan melihat ini sebagai beban. Titik baliknya, saya menerima dengan positif dan bersungguh-sungguh. Saya merupakan bagian dari keluarga yang akan meneruskan misi dan visi beliau dengan gaya saya. Akhirnya, saya memang menemukan passion saya.
Bisa dijelaskan?
Selama kurang lebih sepuluh tahun ini saya berproses di MTG. Selain tertarik dengan unit bisnis spa, saya juga ingin membuat sesuatu, tetapi tetap dengan napas ibu Martha Tilaar. Hasilnya, Roemah Martha Tilaar di Gombong, Kebumen.
Saya menyebutnya Roemah Martha Tilaar di Gombong. Saya ingin rumah budaya ini tak hanya menjadi ikon kekayaan heritage Indonesia dan menjadi museum, tetapi juga menjadi pusat berbagai kegiatan untuk memberdayakan perempuan.
KOMENTAR