Tabloidnova.com - Kisah sukses berusaha ternyata tidak saja muncul di perkotaan. Di sebuah desa kecil di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Singgih Susilo merintis usaha sepeda bambu. Produknya diburu oleh konsumen dari berbagai negara.
Singgih Susilo saat ini tinggal di Desa Kandangan, Kabupaten Temanggung. Dia alumnus program desain Institut Teknologi Bandung. Peruntungannya membuat sepeda bambu dilihat dari banyaknya potensi bambu yang ada di wilayahnya.
Bambu yang ada di desa banyak dijual dengan harga murah. Padahal, jika dipoles sedikit saja bisa menghasilkan nilai jual tinggi.
“Warga jual pring (bambu) itu maksimal 50.000 satu bambu. Padahal untuk ukuran yang sama bisa saya buat beberapa rangka sepeda dengan minimal harga Rp 3,5 juta,” kata Singgih, Minggu (20/3/2016).
Usaha sepeda bambu ditekuni sejak dia memutuskan kembali ke desa. Dari satu batang bambu Petung misalnya, dia mampu membuat lima hingga enam rangka sepeda. Harga bambu yang maksimal 50.000 bisa dijual dengan harga sampai Rp 60 juta.
Baca juga: Kisah Miris Bocah Padil, Tiga Tahun Berturut-turut Kena ISPA Gara-gara Asap
Bagi Singgih, sepeda bambu merupakan ekspresi dari kekayaan alam desa yang tidak henti-hentinya bisa dieksplorasi. Seluruh potensi bisa dikembangkan dipoles dengan harga yang lebih baik.
Sebelum membuat sepeda bambu, Singgih juga mencoba peruntungan membuat Radio Kayu yang dikembangkan dari ide semasa kuliah. Lantaran harga relatif tinggi, ia pun membeli radio bekas dan diotak-atik sendiri.
“Radionya saya bongkar pasang. Kemudian berkembang hingga radio sampai diterima Rahmad Gobel,” kata dia.
Sepeda bambu merupakan produk yang relatif ramah lingkungan.
Di desa itu pun banyak tersebar pohon pinus dan bambu petung. Namun demikian, keterbatasan skill membuat sepeda ini diproduksi secara terbatas.
Sejauh ini, baru 80 sepeda bambu yang diproduksi yang telah dijual di pangsa internasional. Berbagai desain bambu sentuhan Singgih juga dipakai di acara bertaraf internasional.
Kursi bambu buatannya misalnya digunakan di Keraton Yogyakarta untuk menyambut tamu asing. Kursi desain yang sama juga dipakai di festival buku di Jerman.
“Ilmu saya di sini. Di depan laptop, kita bisa berkomunikasi dengan dunia, bahkan dari India datang belajar ke sini. Perusahaan internasional juga menjadikan produk saya sebagai ikon,” kata Singgih.
Singgih meyakini potensi desa bisa berkembang tanpa harus hidup di perkotaan. Desain dan produk yang dibuat di desa jika bagus akan menarik orang luar datang mengunjungi desa. Hal tersebut ternyata baik untuk peningkatan ekonomi.
“Bahkan, melalui Magno (komunitas yang dibinanya) mendapat penghargaan grand award dari dari Inggris. Dari desa ternyata bisa berkibar tinggi,” imbuhnya.
Nazar Nurdin / Kompas.com
KOMENTAR