Berbagai metode dilakukan guru termasuk menggilir siswa masuk di kelas dan kelas lainnya diperkenankan beristirahat atau keluar bermain saat kelas lain sedang belajar.
Nurasia, siswa kelas V MI Makula mengaku tak nyaman belajar sambil bergabung dengan siswa enam kelas berbeda. Namun karena tidak ada pilihan, Nurasia mengaku pasrah saja dan menerima keadaan kondisi sekolah yang serba terbelakang dan miskin sarana.
“Tidak bisa belajar dengan baik dan kadang saling mengganggu karena enam kelas harus belajar dalam satu ruangan yang sama,” ujar Nurasia.
Seperti siswa lainnya, Nurasia sebenarnya bermimpi bisa sekolah seperti anak-anak di sekolah lain yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan, termasuk ruangan yang memadai dan buku-buku pelajaran yang lengkap.
Namun karena harus bepergian ke kota yang ditempuh dengan berjalan kaki hingga 6 kilometer ke kota kecamatan, Nurasia terpaksa mengubur mimpinya bersekolah di tempat yang layak.
Di malam hari, Nurasia belajar menggunakan lampu pelita dari minyak tanah. Di desanya tak ada listrik PLN, warga hanya menggunakan mesin genset yang tentu saja dengan biaya besar. Itu pun hanya satu atau dua warga yang memiliki mesin genset.
Jangankan bisa menikmati menikmati fasilitas internet untuk meningkatkan pengetahuan dan SDM-nya, menikmati perabotan seperti kulkas dan televisi saja bisa dihitung dengan jari.
Mata pelajaran sama
Hariani, salah satu guru Nurasia, mengaku pasrah dengan kondisi sekolahnya yang sangat minim sarana. Idealnya, setiap kelas memiliki ruang masing-masing dan diajarkan oleh guru yang berbeda.
Namun karena kondisi keterbatasan ruang dan fasilitas lain, para siswa dari enam kelas berbeda ini belajar dalam satu ruangan yang sama.
“Idealnya punya enam kelas dna siswa belajar di masing-masing kelas dan mendapat pelajaran dari guru yang berbeda, tapi karena situasinya seperti ini ya mau apa lagi," kata Hariani.
Kondisi seperti ini, lanjut dia, membuat belajar dan mengajar tidak efektif karena perhatian siswa kerap terpencar.
Selain itu, guru tidak bisa maksimal mengajar lantaran terlalu banyak mata pelajaran dan kelas yang harus dihadapi pada waktu yang bersamaan. Namun karena tak ada alternatif lain, Hariani hanya menjalani saja apa adanya.
Wakil Kepala MI Makula, Supriadi menjelaskan, kondisi sekolah seperti ini sudah berlangsung hampir 10 tahun. Enam kelas siswa digabung dalam satu kelas. Mereka diberi pelajaran yang sama dari kelas satu, dua hingga kelas enam.
Junaedi / Kompas.com
KOMENTAR