Bersamaan, saya juga bermasalah dengan tekanan darah dan ritme jantung. Saya kemudian dimasukan ke ruang observasi selama dua jam. Selang berapa lama, suami saya masuk ke dalam ruangan saya untuk menyampaikan kabar bahwa Ais akan dirujuk ke RSCM karena ternyata Ais enggak ada lubang nafasnya. Hidung ada, tapi enggak bisa bernafas.
Dokter menyarankan tindakan oprasi untuk membuat lubang nafas. Duh, ngilu saya dengarnya. Ais masih bayi, bisa bayangkan enggak kalau dia harus dioperasi. Saya juga takut, kalau dioprasi, apakah saya bisa bertemu Ais hidup atau enggak. Akhirnya saya dan suami sepakat menolak rujukan dan menandatangani surat penolakan.
Esok paginya saya lihat Ais tengah dirawat dan tubuhnya penuh dengan alat bantu nafas. Karena enggak bisa bernafas lewat hidung, Ais bernafas dengan mulut. 5 hari setelah melahirkan, saya diperbolehkan pulang sementara Ais terus dirawat.
Percaya Mukjizat
Allah ternyata masih sayang dengan kami, setelah dirawat sekitar dua minggu, dokter yang menangani Ais menyatakan bahwa ternyata AIs sudah ada lubang nafasnya. Saya percaya itu mukjizat, bukan karena dokter salah diagnosa. Akhirnya, selang oksigen dilepas dan disisakan selang untuk membantu Ais makan.
Total, selama 32 hari Ais dirawat, saya enggak boleh gendong hanya bisa melihat dan memberikan ASI. Disitu saya melihat betapa luar biasanya ASI, pertumbuhan Ais semakin baik dari hari ke hari. Sebelum dibawa pulang, dokter mengingatkan bahwa saya harus berhati-hati dengan nafasnya. Karena nafasnya bisa berhenti kapan saja. Kalau biru atau keselek langsung bawa ke rumah sakit. Bismilah saya bawa pulang walau deg-degan.
Karena saluran nafasnya kecil, Ais masih bernafas melalui mulut sehingga dia tidak boleh terpapar udara bebas. Kalau dia pilek, bakalan sulit bernafas. Jadinya, teman-teman mau jenguk susah. Saya harus membuat kamar Ais seperti ICU, semuanya harus bersih. Nightmare-nya di 3 bulan pertama, saya sampai enggak tidur demi memantau Ais bisa nafas atau tidak.
Dia kalau bernafas itu bunyi, saya sama suami kalau dengar dia berhenti bunyi justru panik. Ternyata semakin lama perbaikannya semakin bagus, nafasnya juga sudah bagus. Setelah di cek ke dokter THT, saluran nafas Ais tidak sempurna, yang sebelah kanan ukurannya lebih kecil.
Operasi pertama yang dijalani Ais adalah operasi kepala pada 17 November 2015 di RS harapan Kita. Operasi dilakukan untuk membuka tengkorak bagian depannya lalu. Kalau itu enggak dibuka, matanya akan tertekan oleh otak jadi susah meram dan mata terdesak kedepan serta merusak stuktur wajah.
Harusnya operasi ini akan dilakukan ketika Ais berusia 6 bulan, namun dilakukan saat Ais baru 4 bulan. Kalau tidak buru-buru, matanya dan otaknya terdesak dan membahayakan. Ngebayangin Ais harus melakukan operasi seperti ini, lukanya luar biasa. Tengkoraknya dipotong lalu dipasangkan lagi dengan posisi renggang.
Dokter bilang nanti akan menyatu lagi. Tapi, jangan sampai kurang dari dua tahun. Kalau sudah menyatu kurang dari dua tahun, Ais akan kembali menghadapi kondisi bahaya yang akibatnya harus dioperasi lagi. Setelah operasi, alhamdulillah matanya sudah terlihat normal dan sudah bisa meram kalau tidur.
Operasi selanjutnya adalah untuk memisahkan jari Ais. Kondisi jarinya yang menyatu membuat Ais sulit untuk merangkak dan belajar jalan. Ternyata enggak bisa semuanya langsung dipisah dalam sekali operasi. Satu jari dalam satu operasi, dioperasi satu per satu dengan jarak operasi 6 bulan.
Begitu konsultasi dengan dokternya, dokter menyarankan untuk melakukan CT Scan pada wajah Ais karena dia melihat ada sesuatu yang janggal. Hasilnya, wajah Ais ternyata tidak tumbuh mengikuti kepala. Sindrom Apert memang selalu bermasalah dengan tulang. Ada yang pertumbuhannya cepat dan ada yang lama.
Akibat pertumbuhan wajah yang tidak sempurna itu, saluran nafasnya kembali terancam. Kata dokter, operasi ini bukan karena alasan kosmetik tapi memang diperlukan karena akibat kondisinya nafasnya yang susah, lidahnya sering keluar karena tertekan dari dalam. Rencananya, dalam waktu dekat akan dilakukan operasi menarik wajah Ais. Tindakan operasi ditanggung oleh BPJS, tapi alatnya tidak. Begitu saya cari informasi soal alat yang dibutuhkan, ternyata harganya mencapai Rp 90 juta.
Sempat Galau
Saya benar-benar dikasih sesuatu yang bisa membuat saya banyak bersyukur setiap hari. Meski awalnya sempat galau, ternyata semakin kesini semakin menyadarinya. Saya juga semakin dekat dengan Allah, dengan keluarga semakin dekat dan hangat. Saya juga menyadari bahwa hidup tidak selalu manis dan bahagia terus.
Sindrom Apert yang dialami Ais ternyata dialami juga oleh bayi lain. sambil mencari infromasi mengenai sindrom ini, saya bisa berkenalan dan bergabung dengan komunitas Indonesia Rare Desaease. Disini kami saling menguatkan dan berbagai informasi seputar penyakit langka.
Dikomunitas ini pula saya tahu bahwa tidak semua anak-anak spesial mendapat penanganan yang baik. Ada yang sampai saat ini belum dikenalkan ke keluarga besar. Ada yang dibuang oleh orangtuanya. Ada yang lahiran di kampung, tapi enggak berani bawa anaknya ke kota.
Alasannya beragam, diantaranya takutnya dibilang itu adalah hasil dosa masa lalu, azab, hukuman dan lain-lain. Orang memang gampang banget ngomongnya. Ada seorang kenalan yang ketika melihat kondisi Ais bilang bahwa mungkin saya suka bunuhin kepiting dan sebagainya.
Banyak yang tidak tahu bahwa sindrom Apert bukan penyakit turunan dan tidak menular. Ini mutasi genetik, disebabkan oleh macam-macam mulai dari udara, matahari, makanan, kondisi tubuh dan lain sebagainya. Ini seperti kita dapat lotre, random dan bisa siapa saja. Ada dokter yang usianya masih muda, anaknya apert. Ada orang yang punya empat anak sehat, yang bungsu apert.
Mengetahui semua ini justru membuat saya bersyukur lebih banyak lagi. Bahwa Ais dapat diterima oleh keluarga besar, enggak perlu pakai alat bantu makan, bisa nyusu langsung dan belajar merangkak. Tadinya saya merasa sendirian, di komunitas ini saya bersyukur bisa menemukan teman. Bisa ketemu orang yang memberi saran dokter dan lain sebagainya.
Apert belum banyak diketahui, bahkan dokter saja ada yang masih belum paham apalagi masyakarat umum. Saya pernah ketemua orangtua yang memiliki anak dengan apert tapi belum diperiksakan dan orangtuanya enggak tahu kalau anaknya apert. Memang ada apert yang mild dan severe, keduanya tetap butuh diperiksa lebih lanjut. Kalau ketemu orang, saya sering menyebar informasi mengenai syndrom ini.
Dari komunitas ini pula saya mengetahui bahwa banyak sindrom langka lain yang ada. Misalnya Sindrom Treacher Collins dan Sindrom Prader Willy. Sindrom Prader Willy membuat anak tidak akan pernah kenyang. Sampai-sampai, orangtuanya harus mengunci kulkas. Orang mungkin melihat anak ini rakus, padahal bukan itu alasannya. Masyarakat masih banyak yang belum tahu akan adanya penyakit langka atau rare desease seperti ini. Penyebabnya selain malu akan penilaian masyarakat, tidak ada biaya, tidak tahu harus mencari informasi kemana dan sebagainya.
Lebih Sabar
Untuk membantu tumbuh kembangnya, Ais kini mengikuti terapi tiga kali seminggu. Karena anak-anak dengan kelainan, tumbuh kembangnya pasti delay. Usianya sudah 10 bulan tapi belum bisa merangkak. Awalnya terapi seminggu enam hari, kemudian dikurangi dan dilanjutkan di rumah. Kuncinya jangan diserahkan semua ke terapis, tapi diteruskan di rumah. Alhamdulillah saya bertemu dengan terapis yang enggak hanya mencari uang tapi mau mengajarkan saya, orangtua untuk melakukan terapi di rumah.
Hadirnya Ais, mengubah semua sendir kehidupan keluarga kami terutama diri saya. Mulai dari pola pikir dan sekarang saya justru lebih sabar dibanding saya yang dulu. Saya Pegawa Negeri Sipil (PNS) di Kemenkes, diusia muda saya sudah dapat jabatan. Karena sibuk bekerja, dua anak enggak pernah saya pegang sendiri. Berangkat subuh pulang malam ada pembantu dan baby sitter.
Saya suka enggak sabaran, apa saja bisa membuat saya marah. Rumah berantakan, anak nilainya jelek, saya pasti marah. Begitu dikasih Ais, saya dan suami sepakat enggak bisa Ais dirawat oleh baby sitter. Semahal apapun gajinya, akan lebih baik dirawat sendiri. Akibatnya, saya memilih cuti setahun untuk meninggalkan kerjaan dan fokus merawat ais dan dua kakaknya.
Tanpa saya sadari, sejak itu saya justru lebih sabar. Saya enggak lagi marah-marah, lebih tenang dan santai. Sama anak-anak juga bisa berempati, kalau pulang sekolah mereka bilang capek saya suruh mereka istirahat enggak usah kursus. Saya juga tidak lagi nyinyir kalau lihat ada orang yang melakukan sesuatu menyebalkan. Saya benar-benar dikasih sama Allah sebuah karunia.
Dulu, saya enggak pernah tahajud. Tapi dengan adanya Ais, saya rutin melakukannya. Katanya doa akan dikabulkan saat tahajud, ternyata itu benar. Saluran nafas Ais yang awalnya dibilang tidak ada, kemudian ternyata ada. Saya minta dia bisa pulang tanpa harus menggunakan selang, itu juga dikabulkan Allah. Begitu dikasih Ais, hubungan anak-anak, saya dan suami lebih kuat.
Kedua kakak Ais juga saya jelaskan, mereka bisa menerima bahwa adiknya memang berbeda, mereka enggak malu. Keluarga besar saya dan suami juga dapat menerima dengan baik dan memberikan dukungan penuh bagi kami. Karena melihat kami bisa menerima, mereka juga bisa menerima. Dulu saya suka kesal dan risih kalau ada yang tanya soal kondisi Ais, bosan juga karena banyak yang tanya. Sekarang enggak, saya bisa menjelaskan kepada orang kondisi Ais.
Bahkan pertanyaan seperti mengapa jika sudah tahu sejak dalam kandungan tidak digugurkan? Bahwa sebelum saya hamil Ais, saya sudah dua kali keguguran. Saya sudah meminta kepada Allah untuk diberi keturunan. Ketika Allah kasih, kok malah digugurkan? Kan, saya sudah minta. Jika saya gugurkan, mahluk macam apa saya?
Alhamdulillah, walau saya tidak lagi memiliki penghasilan karena cuti diluar tanggungan, aada saja rejeki untuk keluarga kami. Padahal sebelumnya saya dan suami sempat khawatir untuk menghidupi tiga anak jika saya tidak ada penghasilan. Ternyata sampai saat ini semuanya baik-baik saja.
Kami masih bisa jalan-jalan dan beli barang yang kami mau. Rejeki itu tidak hanya uang, teman bertambah banyak dan hati bisa tenang. Allah Maha Baik, memberi rejeki tak hanya berupa uang. Jangan kasihan, justru apa yang kami alami ini bisa menjadikan kami dan orang lain untuk semakin bersyukur. Apa yang kami jalani bisa membuat orang semangat, termotivasi dan menginspirasi.
Alhamdulillah, dunia enggak runtuh saat kami diberikan anak berkebutuhan khusus. Bahwa yang kami dapatkan adalah karunia. Kalau dikasih anak spesial, jangan pernah berpikir itu hukuman atau azab. Kalau kita pandai melihatnya, itu adalah karunia. Anak berkebutuhan khusus jangan diumpetin. Kalau enggak diajarkan sosialisasi bagaimana mereka bisa mandiri dan bertahan tanpa orangtuanya?
Saat ini, anak-anak lebih bisa dipegang. Kalau enggak ada pembantu saya enggak panik. Saya lebih banyak silaturahmi dengan saudara dan tetangga, benar-benar menikmati hidup sebagai istri dan ibu. Sekarang anak-anak bisa cerita macam-macam, dulu mana pernah. Mereka takut sama saya. Apa yang dulu membuat saya marah, sekarang terlihat kecil. Saya dan suami lebih memilih untuk fokus pada Ais, doa, ibadah dan ikhtiar. Saya dan suami jadi lebih mengerti satu sama lain. saya juga sadar kalau saya marah terus, kondisi tubuh saya akan drop dan saya bisa sakit. Kalau saya sakit siapa yang merawat Ais dan anak-anak?
Edwin Yusman F / Tabloidnova.com
KOMENTAR