Tabloidnova.com - Meski awalnya agak sulit, Aling berhasil menularkan ilmu menganyam pada para perempuan di sekitar Sekolah Alam Bogor. Tak hanya itu, bisnis sosialnya ini mengundang perusahaan besar untuk ikut bersinergi. Ia juga berhasil mengekspor produknya.
Tahun kedua Salam Rancage berdiri, kami mengajak ibu-ibu di sekitar SAB untuk bergabung dan belajar menganyam. Awalnya, kami mengumpulkan 30 ibu rumahtangga, tapi tak ada satu pun yang “nyangkut”. Kemudian, ada enam orang ibu yang bersedia kami latih. Mereka iseng lantaran merasa bosan menunggu anak pulang sekolah tanpa kegiatan.
Butuh waktu lama untuk mengajari mereka dari nol sampai bisa menganyam dengan hasil seperti yang kami inginkan. Setidaknya butuh 40 kali pelatihan. Capek memang. Kesabaran kami untuk mendampingi mereka jadi pertaruhan. Kami pikir, kami harus menciptakan “panggung kesuksesan”. Jika mereka mampu menganyam produk ukuran kecil, misalnya, kami ajak pameran. Yang sudah lebih pandai kami beri “panggung” juga, misalnya diliput teve, sehingga mereka bangga dengan karyanya dan senang bergabung dengan Rancage. Bisa “ngetop” karena masuk teve atau jalan-jalan. Belum lagi, mereka mendapat penghasilan tambahan yang besarnya 20 persen dari harga jual produk.
Sharing pendapatan ini memang cukup besar jumlahnya untuk sebuah bisnis. Apalagi, risikonya kami yang menanggung. Artinya, ketika produk sudah jadi, walaupun belum laku, uang 20 persen dari harga jual itu sudah masuk ke tabungan mereka. Laku atau tidak, mereka mendapatkan uang tersebut. Selain tambahan pendapatan, mereka juga diskemakan untuk menabung. Jadi, pendapatannya langsung kami tabungkan, meski boleh dicairkan kapan saja.
Kampung Koran
Setelah ibu-ibu ini bercerita ke lingkungannya tentang pengalaman dan penghasilan tambahan yang mereka dapat, ilmu getok tular jadi lebih gampang. Setelah enam bulan, pelan-pelan banyak ibu rumahtangga yang tertarik bergabung dengan Rancage.
Kalau ada kunjungan misalnya, mereka didatangkan untuk melatih. Rumah mereka juga didatangi tamu-tamu yang ingin melihat cara menganyam. Mereka jadi bangga. Kepuasan-kepuasan seperti inilah yang kami bangun. Hasilnya, bermula hanya dengan 6 orang, kini lebih dari 90 orang ibu-ibu yang bergabung dengan Rancage, mulai dari yang muda sampai lansia. Nah, ketika pesanan mulai datang dan jumlah penganyam banyak, kelancaran stok koran jadi penting.
Beruntung, tahun lalu kami bertemu Kompas Gramedia dan bersinergi membuat program pemberdayaan yang lebih terstruktur, sistematis, dan definitif. Kami mendirikan Kampung Koran di tiga RW di Palmerah (Jakarta), dan di lingkungan SAB. Bahan baku koran kan, melimpah di sana. Kami juga sudah membuat bank sampah di ketiga RW tersebut. Kami menghitung sampah koran ini dengan satuan ons.
Jadi, warga boleh menabung sampah 1-2 ons saja. Kampung Koran sendiri kami definisikan sebagai kampung yang diharapkan punya kehidupan selaras dari tiga hal, yaitu selaras finansial, selaras sosial, dan selaras lingkungan. Selaras finansial artinya seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Untuk keselarasan sosial, karena kami skemakan perubahan persepsi, perilaku, kebiasaan, hingga menjadi perubahan budaya dalam membuang sampah dan lainnya, mereka juga jadi terbiasa berkumpul, berdiskusi, dan belajar.
Sebab, dalam sistem komunitas, kalau mau sukses harus mau beramai-ramai. Pesanan tak bisa dikerjakan sendirian. Jadi, kalau mau sukses harus mau mengajari banyak orang. Akhirnya, mereka saling membantu dan bekerjasama dalam kelompok. Dari situ, modal sosialnya naik, trust terhadap tetangga naik, komunikasi menjadi lebih lancar di antara sesama mereka. Kalau modal sosial sudah naik, keselarasan sosialnya pun naik. Ketiga, selaras lingkungan. Mereka kita ajak berkontribusi mengelola bank sampah warga secara sukarela.
Bukan Hanya Menganyam
Kampung Koran didirikan dengan tiga pilar, yaitu pilar Kompas Gramedia, pilar Salam Rancage, dan pilar warga. Masing-masing punya peran. Kompas Gramedia berperan memfasilitasi dan menstimulasi pada awalnya, Salam Rancage berperan pada sistem, ide, dan kreativitas, sementara peran warga ada pada kesukarelaan, mengelola secara mandiri. Sekarang, mereka sudah mengelola bank sampah sendiri tanpa kami dampingi. Volume sampahnya pun luar biasa. Tiga kali penimbangan saja lebih dari 500 kg.
Terbayang ya, dulu sampah sebesar itu dibuang. Lantaran semangat ibu-ibu ini naik turun, sengaja kami buat aktivitas di Kampung Koran bukan hanya pelatihan menganyam koran, melainkan beragam. Ada sesi open mind, menonton film atau video inspiratif, outbond, membaca cerita, dan kunjungan ke tempat-tempat inspiratif. Sebab, yang ingin kami bangun adalah 2S, yaitu Skill dan Soul.
Kalau hanya skill, yang didapat hanya uang. Namun, kalau soul juga dibangun, akan menciptakan keselarasan. Nah, kalau dulu saya dan Bu Dewi yang mengajari menganyam, sekarang yang mengajari 40 ibu-ibu di Kampung Koran Palmerah adalah ibu-ibu dari Kampung Koran Bogor yang sudah lebih dulu belajar. Setiap Jumat, secara bergantian mereka datang ke Palmerah untuk mengajar.
Mereka senang karena selain jalan-jalan, kemampuan mereka menganyam membuat mereka bisa mengajari orang sekaligus memupuk rasa berharga mereka. Nah, kalau perasaan berharga terus dibangun, ujung-ujungnya adalah percaya diri, tangguh, tak mudah menyerah, dan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi. Itu sebabnya kami memilih perempuan untuk diberdayakan dalam bisnis ini.
Setelah mereka senang dan merasakan manfaat bergabung dengan Rancage, barulah kami giring untuk berkontribusi pada komunitasnya. Sekarang, bukan kami lagi yang mempertahankan Rancage, melainkan mereka. Seandainya Rancage dibubarkan, merekalah yang akan protes. Ha ha ha. Mungkin orang berkomentar produk kami bagus, tapi bagi kami yang bagus adalah upaya ibu-ibu itu untuk menghasilkannya. Sebab, sebelumnya mereka sama sekali tak bisa menganyam, tapi bersedia tekun mengikuti puluhan kali pelatihan sampai bisa.
KOMENTAR