Tabloidnova.com - Tak hanya di Jawa, Sumatera Utara pun telah mengembangkan motif-motif batik. Memiliki keunggulan pada corak dan pola warna khas yang merupakan perpaduan dari berbagai etnik di Sumatera Utara, batik Sumatera Utara kini menjadi salah satu batik favorit.
Ternyata tak cuma di Jawa batik bisa ditemukan. Sumatera Utara pun punya corak batik sendiri. Salah satu perintis batik etnik Sumatera Utara adalah Nurcahaya Nasution. Kini, usahanya dikembangkan oleh anak-anak dan menantunya. Batik rintisannya pun kini menjadi batik khas Sumatera Utara, Medan, dan Batik Opung.
Diproduksi di tiga sanggar batik di di Jalan Letda Sujono, kawasan Medan Tembung, masing-masing di Gang Al Halim Kiri, Gang Tapsel, dan Gang Musyawarah. Seperti namanya, motif yang diproduksi diambil dari motif dan warna khas dari berbagai etnis di Sumatera Utara, di antaranya pucuk rebung (Melayu) dengan warna kuning dan hijau, motif nengger (Pakpak), cincang duri (Mandailing), gorga (Toba), untir-untir (Nias), masing-masing dengan warna merah, putih, dan hitam. Nurcahaya kini juga mulai mengembangkan motif landmark Kota Medan.
Saat ini, usahanya memang tak hanya corak etnis Sumatera Utara, namun juga ada motif bunga-bunga biasa. “Sampai sekarang sambutan publik sangat baik. Tidak hanya motif etnis, yang bunga-bunga juga ada penggemarnya,” ucap Nurcahaya saat ditemui di Gang Tapsel, Jalan Letda Sudjono, Medan Tembung.
Untuk menyelesaikan satu kain batik dibutuhkan waktu pengerjaan dua hari, namun untuk keseluruhan proses bisa sepuluh hari. “Yang paling rumit itu dari etnis dari Batak Toba. Karena tali sulurnya tumbuh-tumbuhan,” ujarnya.
Batik dikerjakan dengan perpaduan teknik canting dan cap. Kain putih jenis katun primissima atau kain dobi dicap sesuai motif etnik yang diinginkan, lalu dicelup sesuai warna etnik di Sumut. Motif tadi kemudian diblok dengan lilin dan dicelup untuk menghasilkan warna yang diinginkan.
Usaha yang digagas Nurcahaya ini sekarang melibatkan lebih dari 100 perajin yang umumnya kalangan ibu rumah tangga di sekitar Medan Tembung. Mereka bekerja di rumah masing-masing maupun di sanggar batik di tiga lokasi. Ketiga lokasi tadi sudah mampu menghasilkan 1000 – 2000 lembar batik per bulan dan dipasarkan di Sumetara dan Indonesia.
“Pelanggan sudah banyak dan menyebar ke seluruh Indonesia. Ada juga wisatawan yang kebetulan datang ke Medan, singgah ke sini dan beli batik. Rata-rata memang hanya membeli kain,” ujar ibu dari 4 anak dan nenek dari 12 cucu ini.
Selain produksi biasa, banyak pula kelompok yang memesan seragam batik, sehingga pendapatan perajin pun ikut meningkat karena batik. “Mereka yang dulu suka bergunjing pun berkurang karena sibuk membatik dengan penghasilan rata-rata Rp 4 juta per bulan. Bahkan sudah ada yang menyelesaikan kuliah dari bekerja sebagai pembatik,” katanya.
Batik Oppung
Pensiun dari Dinas Kesehatan Deli Serdang, Sumatera Utara tahun 2000, Nurcahaya sebelumnya lebih banyak momong cucu, apalagi suaminya Kusmin sudah meninggal tahun 1999 silam. Kegiatan momong cucu pula yang dilakukan hingga ke Yogyakarta, saat sang menantu kuliah di kota Gudeg tersebut. “Meski sudah di Yogya, saya belum terpikir untuk membatik, meski sempat latihan buat kerajinan lilin. Eh, sekarang malah hilang itu ilmu,” ujarnya sambil tertawa.
Ketertarikan Nurcahaya pada batik mulai muncul tahun 2008, saat ia mengikuti pelatihan membatik di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sumatera Utara selama dua pekan. Usai pelatihan, dia melihat ibu rumah tangga di sekitar rumahnya di Jalan Musyawarah, Medan, sering hanya menghabiskan waktu dengan bergosip dengan tetangga.
KOMENTAR