Ia pun terpikir untuk mengajak mereka membatik. Namun ia merasa ilmunya belum cukup. Dengan biaya sendiri, ia lantas pergi ke rumah gurunya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana, selama seminggu Nurcahaya kembali belajar membatik dari guru yang pernah melatihnya saat kursus di Dekranasda di Medan sebelumnya.
Pulang dari Tasikmalaya, ganti Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Medan yang menggelar pelatihan membatik. Kali ini, bukan sebagai peserta, tapi Nurcahaya justru ditawari menjadi pelatih. Pesertanya ibu-ibu di Gang Musyawarah berjumlah 20 orang. “Honornya saya gunakan untuk membeli peralatan membatik, pesan dari Tasikmalaya,” kenangnya.
Bersama murid-muridnya di Gang Musyawarah, Nurcahaya membuat batik sebisanya. Lalu UKM Center Medan memberinya kesempatan memberi pelatihan bagi 20 orang lagi untuk dilatih membatik. Selanjutnya mereka memproduksi batik. “Waktu itu masih meniru motif batik dari Jawa , hasilnya pun masih jelek,” kenangnya sambil terkekeh.
Uang Pensiun
Meski demikian, Nurcahaya mendapat undangan sebagai peserta untuk mengikuti pameran di Langkat. Ia membawa hasil karya murid-muridnya ke pameran tersebut dan ternyata habis terjual. “Banyak yang menyarankan saya membuat batik etnik Sumatera Utara,” ujarnya.
Merasa tertantang, Nurcahaya mencari buku tentang pengetahuan etnis di Sumut ke berbagai perpustakaan Medan. Dia juga pergi ke daerah seperti Balige dan Tarutung untuk mendokumentasikan ornamen atau rumah adat di sana. “Pergi ke mana saja dan menemui sesuatu yang ada hubungannya dengan adat di Sumut, saya perhatikan dan foto untuk direproduksi ke dalam cap batik. Biayanya menggunakan uang pensiun,” jelasnya.
Nurcahaya bersama anak keduanya, Zuhrina Kustanti, kemudian mengembangkan Batik Medan di Gang Musyawarah. Selanjutnya, tahun 2011, ia pindah ke rumah Zuhrita Kustiwa, anak ketiganya, di Gang Al Halim Kiri, Jalan Letda Sujono, Medan. Di sini ia kembali mengembangkan batik yang sama dengan nama Batik Sumatera Utara.
Dia juga melatih warga melalui lembaga kursus membatik yang diberi nama Saudur Sadalanan, yang dalam bahasa Mandailing berarti Searah Seperjalanan. Nama yang dipilih sesuai nama motif batik miliknya yang terpilih sebagai juara harapan I dalam Lomba Disain Batik Tingkat Nasional di Bandung tahun 2010.
Merasa batik Sumatera Utara sudah semakin berkembang, Nurcahaya pun kembali pindah lokasi. Kali ini ke rumah anak sulungnya, Zuhair Kustanto, di Gang Perjuangan. Di sana ia mengembangkan Batik Opung. Selanjutnya pada awal 2016 pindah ke Gang Tapsel, tempat dia memberi pelatihan dan produksi batik Opung.
Mempertahankan Warisan
Nurcahaya, atau lebih akrab disapa Opung, merupakan lulusan keperawatan yang berubah profesi menjadi pengrajin batik dan berkembang. Kini, ia lebih banyak berbagi ilmu membatik melalui lembaga kursus dan pelatihan (LKP) Saudur Sadalanan yang berada di Gang Tapsel.
Perempuan kelahiran Ipar Bondar, Tapanuli Selatan, 10 Mei 1945 ini memberi pelatihan batik ke berbagai daerah di Sumatera Utara, seperti Simalungun, Nias, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungun. Di sana, selain membeli pelatihan membatik, Nurcahaya juga mengajarkan kewirausahaan dan manajemen usaha. “Kami membuat kurikulum sendiri,” tambahnya.
Untuk memperkaya ilmunya tentang batik, ia menimba ilmu ke Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta atas sponsor dari lembaga yang peduli pada pengembangan UMKM seperti Pertamina. Bahan baku batik pun sampai saat ini masih dikirim dari Pekalongan dan Solo.
Menurut Zuhrita Kustiwi, salah seorang menantunya, usaha yang dirintis Nurcahaya merupakan wujud mempertahankan warisan suku Batak, terutama ukiran-ukiran yang biasa terdapat pada bangunan di Medan. Saat ini, bangunan di Medan sudah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman sehingga ukiran-ukiran tersebut sudah jarang ditemukan.
“Batik menjadi medium yang tepat untuk mempertahankan warisan budaya tersebut,” ujar Kustiwi saat ditemui di sanggar Batik Sumatera Utara, di Gang Al Halim Kiri, Jalan Letda Sudjono.
Tumpak Sidabutar
KOMENTAR