Menyandang gelar sarjana pengangguran membuat saya tersadar, saya harus turun tangan menghidupkan produksi lurik. Terlebih para penenun juga membutukan pekerjaan. Didampingi paman, saya mulai belajar menghidupkan produksi tenun yang sudah menghidupi keluarga besar kami. Beruntung, kemudian kami mendapat pendampingan dari Dinas Perindustrian DIY agar usaha kami bisa bangkit lagi.
Andai kala itu kami menyerah, mungkin produksi lurik di Yogya hanya akan tinggal nama, mengingat produsen kain lurik tinggal kami saja. Perajin dari desa lain ada yang beralih menenun lidi atau serat pohon.
Saya nyebur ke usaha tenun lurik sama sekali tanpa punya ilmu. Karena itu saya belajar dari nol. Belajar dari paman, atau belajar dari para pekerja yang rata-rata berusia lanjut. Semua masukan saya jalankan. Beruntungnya saya lagi, kakek masih meninggalkan coretan-coretan motif lurik pakem yang sudah berusia ratusan tahun.
Begitulah, selepas kuliah, saya yang sejujurnya tidak punya bayangan akan bekerja dimana pascakuliah, langsung berbisnis lurik. Adik semata wayang saya juga rupanya tidak tertarik mewarisi bisnis ini. Jadi saya berusaha menghidupkan dan mengembangkan usaha ini dengan tekad tetap mempertahankan alat tenun bukan mesik sebagai sarana penghasil lurik. Inilah semangat kakek yang harus saya warisi. Tetapi saya juga membuka diri pada perkambangan zaman. Akan terus berinovasi dengan satu tekad, berkembang dengan konsep tradisional.
Motif Penuh Filosofi
Asal tahu saja, motif garis-garis yang diproduksi mesin tekstil tidak bisa disebut lurik, ya. Karena motif lurik yang baku ada aturannya. Misalnya, motif Telu Pat berwarna biru dongker yang biasa dikenakan para abdi dalem keraton. Garisnya selalu tiga dan empat yang kalau dijumlah menjadi pitu (tujuh). Antara angka 3 dan 4 tidak berjarak. Motif lurik ini adalah ciptaan Sultan HB I. Angka 4 menggambarkan kedudukan raja sementara angka 3 menggambarkan kedudukan/posisi rakyat. Sehingga bisa “dibaca” tidak ada jarak antara Raja dan rakyat.
Motif Telu Pat ini dalam pembuatannya menjadi baju adat yang disebut pranakan pun ada aturannya. Kancing yang melekat di dada harus berjumlah 6 untuk melambangkan Rukun Iman harus melekat di hati. Sementara kancing di pergelangan tangan harus berjumlah 5 yang melambangkan Rukun Islam harus dipegang teguh.
Sementara motif lurik yang dominan cokelat seperti surjan para abdi dalem keraton disebut motif Sapit Urang yang memiliki filosofi tersendiri yang berkaitan dengan siasat perang.
Menurut cerita turun-temurun, motif lurik memang penuh filosofi karena itu dibuat dengan segenap jiwa dan ritual khusus. Seperti motif Udan Liris yang konon dibuat dengan penuh doa dan harapan agar Tuhan menurunkan hujan agar tanah pertiwi ini senantiasa subur-makmur.
Karena itu, saya bertekad bulat mengembangkan kerajinan kain lurik dengan mempertahankan konsep tradisional. Tapi jangan salah dimengerti. Dalam hal ini yang tradisional hanya alatnya saja. Saya juga akan tetap mempertahankan motif tradisional yang hingga saat ini masih dikenakan masyarakat untuk upacara adat dan tradisi. Tetapi semangat inovasi kakek saya juga akan terus mewarnai produksi Kurnia Lurik. Terutama dalam hal warna dan membuat motif-motif baru sesuai permintaan pasar. Manajemen juga mulai saya buat professional, ditambah marketing yang modern dengan cara memasarkan lewat media sosial. (BERSAMBUNG)
Rini Sulisyati
KOMENTAR