Meski kami market place, approval untuk supplier dan barang yang bisa dijual tetap ada pada kami. Jadi, orang mendaftar, menjelaskan produknya, lalu kami seleksi. Kami punya merchandising team yang akan menyeleksi, disetujui atau tidak. Kalau disetujui, baru bisa naik ke website. Kami memang repot dan menambah tenaga untuk itu, tapi tujuan kami adalah menjamin bahwa yang dijual di Alfacart tidak ada barang palsu atau KW dan bukan barang ilegal. Memang butuh waktu sedikit lebih lama, tapi kami ingin menjamin konsumen.
Ada berapa item yang ditawarkan di Alfacart?
Ratusan ribu, itu pun masih banyak yang belum tersedia. Kami masih ngebut. Jumlah supplier sendiri ribuan dari seluruh Indonesia.
Bagaimana mengontrol supplier yang nakal, misalnya mengirim barang yang tidak sesuai dengan pesanan?
Kami selalu memonitor supplier dan kami punya rapor mereka. Bukan hanya soal kualitas barang, melainkan juga soal kecepatan dia mengirim barang. Mungkin tidak langsung dipinalti, melainkan kami ingatkan lebih dulu atau apa yang bisa kami bantu. Sebab, banyak juga dari mereka yang masih belajar. Nah, peran kami juga mengedukasi mereka.
Sebagai CEO, Anda kan, terbilang masih sangat muda. Bagaimana menghadapi anak buah yang lebih senior atau lebih tua?
Bagaimana ya? The way I look at it is the same. Selama kita men-treat semua orang sama tanpa melihat umur, saya rasa itu bukan masalah. Mau umurnya lebih muda atau tua, posisinya di atas atau di bawah, we have to treat everyone the same. Harus ada respect dan trust. Kalau enggak, enggak mungkin dengan pegawai yang jumlahnya kurang dari 300 orang kami bisa mencapai mimpi. So we have to work as a solid team. Lagipula, kami berkembang sangat cepat, jadi enggak sempat memikirkan hal seperti itu. Ha ha ha. Yang lebih penting adalah kami sedang membangun budaya perusahaan, karena kami masih sangat baru.
Sebagai perempuan yang terjun ke dunia e-commerce yang saat ini kebanyakan ditekuni pria, pernah dipandang sebelah mata soal kemampuan Anda?
Hmm… saya orangnya cuek kali ya, jadi enggak merasa dipandang sebelah mata atau enggak. I’m sure ada beberapa orang yang bertanya-tanya apakah saya sudah pantas berada di posisi ini. Tapi buat saya, biarlah pekerjaan kita saja yang nanti akan membuktikan.
Bisa diceritakan latarbelakang karier Anda?
Sejak lahir sampai lulus SMA saya di Surabaya, lalu kuliah di Nanyang Technological University, Singapura mengambil jurusan banking finance. Lulus kuliah tahun 2004, saya bekerja di perusahaan konsultan manajemen McKinsey di Singapura selama dua tahun. Setelah itu, saya bekerja di sebuah small venture capital di Singapura dan India. Lalu, saya kembali lagi bekerja di McKinsey, tapi yang di Jakarta, selama dua tahun. Setelah itu saya jadi salah satu pendiri Zalora Indonesia.
Mengapa terjun ke e-commerce?
KOMENTAR