Potret buruk pendidikan di Indonesia masih terlihat di sejumlah daerah, bahkan di wilayah dekat pusat pemerintahan sekalipun.
SD Negeri 017 Taupe di Dusun Ne'ke, Desa Taupe, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, merupakan salah satu di antaranya. Letaknya hanya sekitar 4 kilometer dari kantor Bupati Mamasa.
Sekolah berukuran 6 meter x 12 meter itu hanya berdinding bambu cincang. Bangunan yang berdiri sejak 2010 tersebut ditopang oleh batang bambu yang sudah mulai lapuk dimakan rayap.
Meski terlihat berdiri tegak, sekolah berdinding bambu ini sudah rapuh dan rawan roboh, terutama saat diterjang angin kencang.
Meja dan kursi-kursi di sekolah ini pun jauh dari kesan mewah. Semuanya terbuat dari potongan papan kayu yang dirangkai seadanya agar bisa digunakan para siswa.
Papan tulis dari selembar tripleks white board dipasang menyatu dengan tiang bambu penopang bangunan sekolah.
Jalan menuju sekolah tersebut juga belum diaspal. Butuh waktu lebih dari satu jam dengan sepeda motor dari kantor Bupati Mamasa ke sekolah tersebut.
Kubangan lumpur yang licin dan becek di sepanjang jalan membuat perjalanan ke lokasi ini cukup melelahkan.
Sebagian siswa memilih berjalan kaki ke sekolah sambil membuka alas kaki agar tidak penuh lumpur sebelum belajar.
Tempat belajar para siswa masih berlantai tanah dan beratapkan seng bekas. Saat musim hujan, lantai tanah di sekolah ini basah dan licin.
Bangunan darurat yang didirikan oleh masyarakat tujuh secara swadaya tahun lalu ini disekat-sekat dengan bambu cincang menjadi tiga ruangan kelas. Ruangan ini digunakan secara bergantian untuk enam kelas.
Tak ada fasilitas penunjang pendidikan apa pun di sekolah ini. Jangankan fasilitas komputer atau jaringan internet, perpustakaan pun tidak ada sebagai penunjang dalam membantu meningkatkan kecerdasan siswa.
Potret buruk pendidikan di Indonesia masih terlihat di sejumlah daerah, bahkan di wilayah dekat pusat pemerintahan sekalipun.
SD Negeri 017 Taupe di Dusun Ne'ke, Desa Taupe, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, merupakan salah satu di antaranya. Letaknya hanya sekitar 4 kilometer dari kantor Bupati Mamasa.
Sekolah berukuran 6 meter x 12 meter itu hanya berdinding bambu cincang. Bangunan yang berdiri sejak 2010 tersebut ditopang oleh batang bambu yang sudah mulai lapuk dimakan rayap.
Meski terlihat berdiri tegak, bangunan sekolah ini sudah rapuh dan rawan roboh, terutama saat diterjang angin kencang.
Meja dan kursi-kursi di sekolah ini pun jauh dari kesan mewah. Semuanya terbuat dari potongan papan kayu yang dirangkai seadanya agar bisa digunakan para siswa.
Papan tulis dari selembar tripleks white board dipasang menyatu dengan tiang bambu penopang bangunan sekolah.
Baca juga: "Full Day School" Jangan Dipaksakan di Semua Sekolah
Jalan menuju sekolah tersebut juga belum diaspal. Butuh waktu lebih dari satu jam dengan sepeda motor dari kantor Bupati Mamasa ke sekolah tersebut.
Kubangan lumpur yang licin dan becek di sepanjang jalan membuat perjalanan ke lokasi ini cukup melelahkan.
Sebagian siswa memilih berjalan kaki ke sekolah sambil membuka alas kaki agar tidak penuh lumpur sebelum belajar.
Tempat belajar para siswa masih berlantai tanah dan beratapkan seng bekas. Saat musim hujan, lantai tanah di sekolah ini basah dan licin.
Bangunan darurat yang didirikan oleh masyarakat tujuh secara swadaya tahun lalu ini disekat-sekat dengan bambu cincang menjadi tiga ruangan kelas. Ruangan ini digunakan secara bergantian untuk enam kelas.
Tak ada fasilitas penunjang pendidikan apa pun di sekolah ini. Jangankan fasilitas komputer atau jaringan internet, perpustakaan pun tidak ada sebagai penunjang dalam membantu meningkatkan kecerdasan siswa.
Junaedi / Kompas.com
KOMENTAR