Setiap orangtua tentu memiliki cara sendiri untuk membesarkan buah hatinya. Berbekal pengaruh kultur dan pengalamannya ketika ia kecil, ditambah dengan faktor karakter serta kondisi saat itu, orangtua akan mempunyai pola asuh yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
Ada yang bilang bahwa anak tidak boleh terlalu dimanja, atau ada juga yang menyarankan untuk bersikap tegas terhadap anak, apalagi untuk mereka yang cenderung nakal. Lalu, bagaimana sebaiknya menerapkan pola asuh yang tepat bagi si buah hati? Apakah harus bersikap overprotektif demi mencegah hal buruk yang mampu menimpa anak Anda?
Banyak orangtua yang berpikir, apa yang salah dengan terlalu perhatian kepada anak-anak? Perhatian memang perlu, namun bukan berarti perhatian itu yang akan menyelamatkan anak-anak kita.
Ada orangtua yang menjagai anaknya hingga 24 jam, di sekolah dan di rumah. Sehingga anak tidak pernah lepas dari perhatian orangtua. Sering kali pula anak-anak dilarang untuk mencoba ini dan itu. Alasannya takut terluka.
Baca: 4 Metode untuk Mengungkap Kasus Kekerasan Seksual pada Anak
Ciri orangtua yang terlalu protektif
Orangtua yang overprotektif biasanya memperhatikan dan melindungi anak secara berlebihan karena takut anak-anaknya mengalami stres karena lingkungan luar. Misalnya takut anak tertekan jika dimarahi guru, bertengkar dengan teman, dan takut jika si anak jadi nakal kalau dibiarkan bergaul dengan orang lain.
Padahal sebenarnya, berbagai konflik yang terjadi di sekitar anak justru baik bagi tumbuh kembangnya, jika ia diajari untuk kuat secara mental. Hal itu bahkan baik untuk sistem imunnya.
Baca: Ini 9 Ciri Anak Alami Kekerasan Tapi Sering Tak Disadari Orangtua
Dampak orangtua yang terlalu overprotektif pada anak
Menjadi orangtua yang overprotektif justru membuat si anak menjadi lemah, karena tidak mampu berjuang untuk dirinya sendiri. Toh, segalanya sudah diatur oleh orangtuanya. Sehingga ia tidak memiliki keinginan untuk berjuang.
Akibatnya, anak kurang mampu berhubungan sosial dengan baik, bahkan bisa bertumbuh menjadi antisosial.
Aktivitas fisik, bermain, berkompetisi bersama teman-teman, bertengkar kecil antarteman, bahkan pengalaman seru dalam pergaulan itu penting bagi anak-anak. Ia bisa belajar dari rasa takut, cemas, senang, dan sedih saat tumbuh sebagaimana mestinya.
Jika anak diproteksi dari segala hal yang dirasa orangtua berisiko padanya, ia tidak akan bisa belajar untuk mengendalikan risiko itu. Bahkan ia bisa tidak paham, sebab banyak pelajaran yang tidak bisa diajarkan secara lisan saja. Bayangkan bagaimana ia saat tumbuh dewasa?
Baca: Beda Pola Asuh Orangtua Generasi Baby Boomer dan Generasi X
Tapi, bagaimana dengan kekhawatiran akan terjadi sesuatu pada anak?
Benar, kita harus melindungi anak. Namun anak tidak wajib merasakan hal-hal yang baik saja. Ia juga perlu mengalami hal-hal natural yang memang harusnya dialami oleh manusia untuk berproses.
Ada pula orangtua yang takut anaknya terkena kuman jika bermain tanah. Sehingga anaknya harus selalu bersih dan higienis. Hanya saja, ingatlah bahwa bakteri, virus, dan mikroba yang ada pada tanah, hewan, dan tanaman bukanlah jenis yang membuat seseorang sakit.
Virus flu dan bakteri yang membuat sakit justru dari orang sakit, bukan dari sesuatu yang kotor. Menurut penelitian, dengan terkena paparan bakteri dan virus dari alam, sistem imun kita akan belajar untuk mengenali perbedaan berbagai virus itu.
Biarkan anak berkembang sebagaimana seharusnya ia hidup sebagai manusia. Kita, sebagai orangtua memang mesti menjaga dan melindunginya. Namun bukan berarti kita harus menghalangi segala yang yang justru baik untuk pertumbuhannya.
Tika Anggreni Purba/intisari-online.com
Sumber: PsychologyToday
KOMENTAR