Setelah lulus SMA tahun 2013, aku langsung fokus pada angkat berat. Hasil di Paralympic Games di London memang membuatku kecewa. Tapi aku berpikiran bahwa aku sudah bekerja maksimal. Di lain sisi, aku juga memaklumi banyak orang yang kemudian mempertanyakan mengapa kami para atlet belum bisa menyumbangkan medali.
Pada Asean Para Games 2013 di Myanmar aku berhasil menggondol medali emas. Tahun 2014, aku ikut Asian Paragames di Korea Selatan dan berhasil menggondol medali perak, disusul tahun 2015 aku mendapatkan medali perak pada ajang World Cup Powerlifting di Kazakhstan. Aku ikut kompetisi itu karena poinku untuk bisa ikut Paralympic Games di Rio de Janeiro, Brasil, masih kurang.
Setelah berhasil meraih medali perak di Kazakhstan, aku pun bergabung dengan kontingen Merah Putih ke Paralympic Games di Brasil. Oleh National Paralympic Committee (NPC), aku diberi target medali perunggu. Syukurlah, aku berhasil memenuhi target tersebut. Kerja kerasku terbayarkan setelah pada Paralymic Games sebelumnya di London tidak mendapatkan medali.
Kegembiraanku meraih perunggu di ajang pesta olahraga sedunia itu segera kubagikan kepada orangtuaku. Aku langsung menelepon mereka. Sudah menjadi rutinitas bagiku, setiap kali berhasil mengharumkan nama bangsa, aku pasti langsung menelepon orangtua.
Tangis bahagia pun terdengar saat aku menjadi juara ketiga di ajang Paralympic Games Brasil. Terlebih belakangan aku mengetahui bahwa medali yang kurebut itu adalah satu-satunya medali yang diraih tim Merah Putih. Di Brasil aku dikalahkan lifter Turki dan Tiongkok. Kontingen Turki mampu mengangkat 104kg dan Tiongkok mengangkat 102kg, sementara aku hanya 95kg.
Kala itu, salah satu angkatanku didiskualifikasi, karena tangan agak miring. Sebenarnya, pada latihan sebelumnya, aku mampu mengangkat beban 101 kg. Tetapi apa pun, aku sudah bekerja keras untuk bangsa. Perlu diketahui, perwakilan lifter Turki dan Tiongkok memang selalu berkejaran prestasi denganku setiap kali mengikuti nomor angkat berat.
Paralympic Games Brasil begitu istimewa. Oleh sebab itulah, keluargaku nonton bareng di rumah via Youtube. Keluargaku rela begadang sampai malam demi melihat aku bertanding. Waktu itu pertandingan digelar pukul 16.00 waktu Brasil, sementara di Bali sekitar pukul 03.00 WIT.
Menurut cerita kakak, sorak ramai bercampur rasa was-was memenuhi isi rumah. Begitu aku dinyatakan jadi juara ketiga, bapak ibuku tak kuasa menahan tangis. Mereka bangga. Meski aku difabel, aku mampu berbicara dan menorehkan prestasi mengharumkan nama bangsa di tingkat dunia.
Mimpi Bikin Gymnasium
Usai menyabet medali perunggu, aku dijanjikan bonus Rp1 miliar oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nachrawi. Mendapat rezeki uang sebegitu besar tentu hal yang tidak pernah kuduga. Tapi aku sudah memiliki angan-angan memiliki gym sendiri. Aku ingin bisa berlatih bebas dengan peralatan lengkap. Selain bisa kujadikan ladang usaha, gym ini juga bisa menunjang profesiku sebagai atlet angkat berat.
Tak hanya itu, aku juga ingin membantu teman-temanku yang juga jadi atlet. Jika aku bisa membangun gym, aku akan mempersilakan teman-teman difabel berlatih gratis. Tetapi uang sejumlah itu sepertinya kurang untuk merealisasikan angan-anganku, mengingat harga tanah di Bali yang sudah begitu mahal.
Tapi aku tak patah semangat. Aku akan tetap bertanding sampai dua tiga tahun lagi. Aku masih bisa menabung. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Tuhan telah membimbingku menemukan jalan hidup. Tuhan telah menuntunku menjadi seorang atlet angkat berat. Kini, setelah medali perunggu, kejuaraan lain menantiku, yakni Asian Paragames dan Olimpiade 2020. Aku ingin memperbaiki prestasiku.
Aku tak akan berhenti meraih cita-cita. Karena cita-cita, kerja keras dan doa dari orangtualah yang membuatku mendapatkan anugerah Tuhan yang sama sekali tidak kuduga.
Fajar Sodiq
KOMENTAR