Namun, penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Nature ini, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi secara tiba-tiba.
Saat daratan baru terbentuk, suhu permukaan lebih panas beberapa puluh derajat dari sekarang.
Pada saat itu, perubahan dramatis pada iklim memengaruhi kehidupan Bumi.
Bakteri sederhana yang hanya tumbuh di air, digantikan oleh alga, tanaman, dan jamur yang lebih kompleks.
(Baca juga: Darling Pea, Tanaman Bak Narkoba Bagi Domba dan Hewan Ternak)
Paparan daratan baru terhadap pelapukan juga memicu gas rumah kaca seperti karbondioksida.
Terganggunya keseimbangan radiasi Bumi menyebabkan serangkaian episode zaman es antara 2,4 hingga 2,2 juta miliar tahun lalu.
Permukaan cerah yang muncul karena pembentukan daratan baru, memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa.
Ini menciptakan tambahan putaran pada keseimbangan radiasi gas rumah kaca dan perubahan iklim.
“Kami menduga, saat benua besar muncul, cahaya akan dipantulkan kembali ke angkasa dan memulai zaman es. Bumi memiliki salju pertamanya,” kata dr. Ilya Bindeman, pemimpin penelitian dari University of Oregon.
(Baca juga: Warga Buang Sampah Sembarangan, Gajah Sri Lanka Sering Makan Plastik)
Hal itu juga menghasilkan Peristiwa Oksigenasi Besar yang berakhir sekitar 2,1 miliar tahun lalu ketika perubahan atmosfer membawa sejumlah oksigen bebas ke udara.
Para peneliti melacak peristiwa dramatis ini dengan melihat perubahan kimia pada batu serpih – sedimen paling umum di dunia.
Mereka mengambil sampel 278 batu serpih dari formasi permukaan dan lubang bor di setiap benua yang mencakup 3,7 miliar tahun sejarah Bumi.
Para peneliti juga membandingkan perubahan rasio oksigen 17 dan 18 dengan oksigen 16 yang terdapat pada sampel batu serpih.
Dari hasil studi, diketahui bahwa total daratan pada masa itu sekitar 2/3 dari apa yang ada saat ini. (*)
(Artikel ini sudah pernah tayang di laman National Geographic dengan judul Peneliti Ungkap Kondisi Bumi 2,4 Miliar Tahun Lalu, Seperti Apakah?)
KOMENTAR