Cerita Haru Tsunami Selat Sunda: Ternyata Itu Jadi Belaian Terakhir ke Istri Sebelum Ombak Besar Tsunami Menerjang dan Membawanya Pergi

By Tentry Yudvi Dian Utami, Minggu, 13 Januari 2019 | 08:30 WIB
Curhat Korban Tsunami: Belaian Terakhir Sebelum Ombak Besar Menerjang 13/01 ()

NOVA.id - Bencana tsunami Selat Sunda (22/12) memang sudah lama terjadi.

Namun buat Subandi (35), warga kampung Way Mulih, wilayah Lampung Selatan, tragedi yang menerjang hingga pesisir pantai wilayah Banten itu pun seolah baru saja terjadi.

Bukan hanya rumah dan kampungnya yang luluh lantak, ibu, istri, dan anak bungsunya juga wafat bersama ratusan korban jiwa lain.

Dengan wajah sendu, sesekali tak bisa menahan air mata, lelaki yang sehari-harinya menjadi nelayan itu pun bercerita kepada NOVA.

Baca Juga : Dituding Incar Harta Sule, Naomi Zaskia Akui Bisa Jatuh Hati pada Sang Komedian karena Hal Ini!

Malam itu langit cerah.

Setelah makan malam, sekitar jam 8 saya main ke rumah teman.

Ngumpul-ngumpul saja, sih.

Baca Juga : Wakili Generasi Muda Agnez Mo Datang ke Istana, Ini yang Disampaikan Pada Presiden Jokowi

Jarak rumah teman itu sekitar 20 meter dari rumah saya.

Kami main catur, nonton TV, atau ngobrol-ngobrol saja. Keluarga di rumah.

Jam segitu biasanya sudah pada tidur.

Baca Juga : Cantik dan Terlahir Kaya, Raline Shah Rasakan Serba Kekurangan dan Miskin! Kenapa?           

Di rumah ada ibu saya, Hamijah (55).

Ada istri, Munajah (31) dan dua anak kami, Hadi (8) dan Rifki (2).

Kalau anak pertama, Adit (12) lagi enggak di rumah.

Sejak tanggal 20 Desember, dia ikut kompetisi sepakbola bersama Merpati FC di Bandar Lampung.

Baca Juga : Ingin Lebih Jago Makeup Jadi Resolusi 2019? Begini Caranya, Do It Now!

Lagi asyik-asyiknya ngobrol, sekitar jam 9.20 malam datang ombak itu.

Saya enggak sempat lari.

Bengong melihat ombak yang datang dari jauh, karena memang enggak biasanya sebesar itu.

Baca Juga : Ingin Lebih Jago Makeup Jadi Resolusi 2019? Begini Caranya, Do It Now!   

Tapi setelah ombak itu semakin dekat, saya baru tersadar dan lari dari tempat duduk.

Baru sekitar 5 meter saya lari, tubuh saya langsung diterjang tsunami yang tinggi benar, mungkin lebih tinggi dari pohon kelapa. Saya digulung ombak.

Tangan saya berusaha mencari pegangan, tapi enggak nemu.

Baca Juga : Tetap Nekat Pakai Rok saat Bermotor? Risikonya Nggak Main-Main, lho!

Syukurlah akhirnya saya berhasil pegangan di tembok rumah tetangga.

Setelah ombak pertama surut, saya berusaha bangun.

Melihat ke depan, kanan kiri, belakang—di mana, ya rumah saya?

Biar rumah saya sudah rata dengan tanah, saya tetap mencari keluarga.

Baca Juga : Punya Rambut Tipis? Begini 4 Cara Mudah Ubah Rambut Tipis Lebih Stylish

Tapi sekitar 7 menit kemudian datang lagi ombak kedua.

Lebih tinggi dari ombak yang pertama.

Saya lari ke tempat yang lebih tinggi.

Bagaimana keadaan keluarga saya, saya sudah enggak tahu lagi.

Baca Juga : Teliti Sebelum Membeli, Pastikan Tak Ada Garis Putih Pada Daging Ayam! Ini Alasannya

Lari ke Gunung

Kayak orang-orang lain, saya berlari ke gunung.

Sekitar jam 12 malam begitu sudah enggak ada ombak, saya turun ke kampung saya, Way Mulih. Oh, rumah saya beneran hancur.

Di tengah gelap saya tetap mencari-cari keluarga saya, tapi enggak ketemu.

Baca Juga : Teliti Sebelum Membeli, Pastikan Tak Ada Garis Putih Pada Daging Ayam! Ini Alasannya

Sempat ada yang bilang, keluarga saya selamat dan ada di gunung.

Jelas saya girang.

Tapi cuma sebentar.

Begitu saya naik dan cek ke lokasi yang dikasih tahu tadi, mereka ternyata enggak ada.

Baca Juga : Ingin Lebih Jago Makeup Jadi Resolusi 2019? Begini Caranya, Do It Now!

Tapi saya enggak nyerah.

Malam itu, ada tiga kali bolak-balik saya naik gunung dan turun ke kampung mencari ibu, istri, dan anak-anak saya.

Sampai besoknya saya menemukan ibu dan istri di Desa Kunjir yang sekitar satu kilometer dari rumah. Tapi keduanya sudah meninggal dunia.   

Baca Juga : Tak Lagi Dipertemukan dalam Satu Acara, Ayu Ting Ting Bersimpuh Minta Ivan Gunawan Kembali

Di mana anak-anak saya?

Setelah bolak-balik ke posko, saya dapat informasi anak saya yang bernama Hadi berhasil ditemukan tetangga.

Dia selamat.

Tapi baru dua hari kemudian, saya dapat kabar anak bungsu saya ditemukan meninggal dunia di Desa Kunjir juga.

Baca Juga : Teliti Sebelum Membeli, Pastikan Tak Ada Garis Putih Pada Daging Ayam! Ini Alasannya

Tapi sudah dibawa ke RSUD dr. H. Bob Bazar, Lampung Selatan.

Tiga anggota keluarga yang saya sayangi meninggal.

Tak usah ditanya gimana perasaan saya.

Apakah memang sudah jalannya buat mereka harus pergi dengan cara seperti itu?

Baca Juga : Terpapar AC atau Kipas Angin Tiap Hari Sebabkan Paru-paru Basah, Benarkah?

Saya berusaha ikhlas.

Tapi yang bikin saya tambah sedih lagi kalau ingat kejadian siangnya.

Sebelum kejadian saya sempat ngobrol berdua dengan istri.

Enggak biasa-biasanya, saat itu, saya belai rambutnya sambil bilang minta maaf kalau belum bisa membahagiakan istri dan anak-anak.

Baca Juga : Dituding Incar Harta Sule, Naomi Zaskia Akui Bisa Jatuh Hati pada Sang Komedian karena Hal Ini!

Karena sebagai nelayan, penghasilan saya pas-pasan, cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari kami saja.

Sambil tersenyum, istri membesarkan hati saya.

Dia bilang enggak apa-apa.

Begini juga katanya sudah bersyukur.

Baca Juga : Tetap Nekat Pakai Rok saat Bermotor? Risikonya Nggak Main-Main, lho!

Pas makan siang, saya sempat ulangi lagi omongan saya, dia bilang kita harus tetap sabar. Ini saja sudah bersyukur karena masih bisa makan bersama.

Saya enggak menyangka kalau malamnya malah kejadian tsunami.

Kalau inget obrolan itu, saya sedih banget.

Tapi, gimana ya kabarnya Adit, anak saya satunya lagi? (*)

Cerita lengkap "Belaian Terakhir Sebelum Ombak Besar Menerjang" bisa Sahabat NOVA lihat di Tabloid NOVA 1612.

Muhamad Yunus