Mengapa? Paling sedikit, ini berarti masih ada kesadaran, entah sedikit entah banyak, bahwa ini adalah sesuatu yang tidak lazim. Bahkan lebih jauh lagi, kok, Anda justru mendapat kenikmatan ketika membuat situasi di mana Anda berpeluang untuk merasa tersakiti, dan rasa tersakiti ini disebabkan oleh konflik yang justu Anda ciptakan sendiri.
Nah, Sari, saya harus mengatakan bahwa bila ini berlanjut terus, seram banget jadinya, karena, Anda butuh stimulus negatif untuk membangkitkan rasa nyaman, bahkan gairah di dalam diri, sementara, umumnya kebanyakan orang akan merasa nyaman saat memperoleh stimulus positif, bukan?
Manusia tak terlahir dengan kemampuan untuk begitu saja bisa tahu dan mengenali apa yang disebut nyaman—seperti apa rasanya sedih, gembira, ditolak, dan sebagainya, kita harus melalui apa yang disebut “belajar”, dan, cara belajar yang pertama kali kita kenal di usia belia kita adalah dengan meniru, siapa yang kita tiru? Tentu saja orang terdekat, dan biasanya ini adalah orangtua kita.
Sayangnya, Anda tak bercerita sama sekali, bagaimana cara orangtua membesarkan Anda, sehingga terjadi (atau malah tak terjadi) proses pemahaman mengenai apa itu emosi yang bekerja dalam diri kita, sukar mengharapkan Anda tahu apa yang disebut “sayang” bila Anda tak pernah dibelai, dipeluk, serta mendengar perkataan-perkataan yang menyiratkan rasa senang dan bangga, atau dipeluk karena rasa syukur orangtua yang sudah memiliki Anda sebagai anaknya.
Baca Juga : 2,5 Tahun Rasakan Hidup Tanpa Wajah, Pria Ini Akhirnya Dapatkan Mata dan Hidung Baru Usai Transplantasi
Pada awal masa kehidupan seseorang, kondisi ini kemudian menimbulkan keyakinan dalam diri seorang anak, bahwa ia dicintai dan diterima apa adanya, terbangunlah apa yang disebut “basic trust” pada anak, karena hanya dengan adanya ini dalam diri seseorang, ia lalu punya kemampuan untuk mengembangkan perasaan bahwa ia berharga, bahwa ia harus berbagi dengan orang lain, membagikan perasaan-perasaan positifnya seperti dulu ia merasa nyaman saat orangtua menyayanginya, termasuk saat ia tetap merasa dicintai saat sedang tak sependapat dengan ayah atau ibunya.
Tidak semua orang belajar hal-hal yang benar untuk jadi orang yang punya kualitas positif dalam dirinya, sementara itu, orangtua juga tak selalu belajar bagaimana menjadikan diri mereka role model, orang yang punya banyak hal positif untuk ditiru, itulah keuntungan kita menempuh pendidikan, banyak membaca,mendengar, dan melihat bagaimana keluarga lain berinteraksi,dan mengekspresikan perasaannya.
Saya mohon maaf, tetapi saya kuat menduga, Anda banyak terekspos dengan konflik, dengan pertengkaran dan kebiasaan saling menyakiti, yang mendahului munculnya perasaan positif, Anda lalu jadi sosok yang perlu ribut dulu untuk mampu bermesraan, harus menciptakan konflik untuk bisa merasa nyaman karena berbaikan kembali, taruhlah, ini memang bisa berjalan dengan baik di diri Anda, artinya semua ini memang menjadi cara Anda menjalani hai demi hari, dan kemudian Anda klaim sebagai “pacaran”, tetapi, pacar Anda, yang mungkin punya pengalaman hidup yang biasa-biasa saja, tentunya akan membingkai pengalaman kebersamaannya dengan Anda, dengan cara yang berbeda.