NOVA.id - Hubungan yang datar-datar saja ternyata membuat perempuan ini bosan.
Bahkan, perempuan ini nekat merekayasa pertengkaran karena menikmati saat-saat tak akur dengan pasangan.
Lantas, apakah hal ini terkait dengan psikologisnya? Simak jawabannya dalam tanya jawab psikologi NOVA yang telah diwartakan dalam Tabloid NOVA edisi 1620.
Baca Juga : Berencana Ziarah Makam, Nikita Mirzani Siapkan Bunga Favorit untuk Jupe dan Olga Syahputra
Halo Mbak Rieny,Mbak, akhir-akhir ini sepertinya saya menyadari ada perilaku saya yang sedikit aneh, saya saat ini memiliki seorang kekasih yang usianya 4 tahun lebih tua daripada saya, saya merasa dia ini adalah seseorang yang sangat membuat saya merasa nyaman.
Akan tetapi, kekasih saya ini tidak terlalu mapan. sehingga saya sering menuntut dia untuk bisa lebih mapan layaknya seorang lelaki, apalagi kami sudah ingin membawa hubungan ini menjadi lebih serius.
Saya sering berdiskusi dengan dia, tapi diskusi kami lebih sering berakhir dengan konflik, kami sering adu mulut, sekali waktu kami pernah adu argumen ketika sedang berada di jalan, saat itu dia dengan teganya turun dari kendaraan lalu meninggalkan saya sendirian di dalam mobil, akhirnya saya melanjutkan perjalanan sendirian, jika sudah marah besar, dia akan diam seribu bahasa tanpa menggubris saya, saya telepon, dimatikan, saya hubungi di media sosial pun dicuekin.
Baca Juga : Pakar Telematika Roy Suryo Buka Suara Soal Pengakuan Erin Taulany Instagramnya Diretas
Konflik demi konflik terus terjadi, akan tetapi kami tidak pernah berpisah, karena ketika berkonflik, tidak lama kemudian kami akan berbaikan dan kembali bermesraan, hingga akhirnya saya menyadari, saya menikmati saat-saat ketika kami sedang berkonflik.
Saya menikmati kesedihan yang saya alami, saya menikmati masa-masa di mana saya sedang berusaha menghubungi dia ketika berkonflik, saya pun menikmati perasaan ketika saya berhasil membuatnya luluh kembali ketika sedang marah, seperti ada rasa kenikmatan, kemenangan, dan keberhasilan.
Ketika hubungan sedang adem ayem, saya merasa bosan, sehingga saya sering merekayasa keadaan dan pada akhirnya memicu pertengkaran, saya marah terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi agar membuat kami berkonflik, terjadi perang dingin, usaha berbaikan, dan kemudian mesra kembali.
Baca Juga : Dibayar 80 Juta, Biaya Ulang Tahun Jadi Alasan Vanessa Angel Mau Layani Rian
Saya tahu ini salah, tapi saya selalu menikmatinya, pasangan saya tidak pernah menyadari hal ini, saya pun tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang keanehan ini, tapi lama-lama saya sepertinya merasa ini tidak baik, dan saya ingin mencegah hal ini. Namun terkadang, dorongan untuk menimbulkan konflik muncul lagi.
Tolong berikan masukan, Bu, saya sebenarnya takut akan perasaan senang dan menikmati ketika merasa sedih atau tersakiti.Sari – Surabaya
Dear Ananda Sari,Saya senang bila Anda memang benar punya rasa takut ketika mendapati bahwa ada rasa senang saat Anda sedang dilanda oleh perasaan -perasaan negatif sejenis sedih, tersakiti, maupun berkonflik.
Baca Juga : Spoiler Alert! Laga Akhir yang Emosional dan Ambisius, Avengers: Endgame Puaskan Penggemar Marvel?
Mengapa? Paling sedikit, ini berarti masih ada kesadaran, entah sedikit entah banyak, bahwa ini adalah sesuatu yang tidak lazim. Bahkan lebih jauh lagi, kok, Anda justru mendapat kenikmatan ketika membuat situasi di mana Anda berpeluang untuk merasa tersakiti, dan rasa tersakiti ini disebabkan oleh konflik yang justu Anda ciptakan sendiri.
Nah, Sari, saya harus mengatakan bahwa bila ini berlanjut terus, seram banget jadinya, karena, Anda butuh stimulus negatif untuk membangkitkan rasa nyaman, bahkan gairah di dalam diri, sementara, umumnya kebanyakan orang akan merasa nyaman saat memperoleh stimulus positif, bukan?
Manusia tak terlahir dengan kemampuan untuk begitu saja bisa tahu dan mengenali apa yang disebut nyaman—seperti apa rasanya sedih, gembira, ditolak, dan sebagainya, kita harus melalui apa yang disebut “belajar”, dan, cara belajar yang pertama kali kita kenal di usia belia kita adalah dengan meniru, siapa yang kita tiru? Tentu saja orang terdekat, dan biasanya ini adalah orangtua kita.
Sayangnya, Anda tak bercerita sama sekali, bagaimana cara orangtua membesarkan Anda, sehingga terjadi (atau malah tak terjadi) proses pemahaman mengenai apa itu emosi yang bekerja dalam diri kita, sukar mengharapkan Anda tahu apa yang disebut “sayang” bila Anda tak pernah dibelai, dipeluk, serta mendengar perkataan-perkataan yang menyiratkan rasa senang dan bangga, atau dipeluk karena rasa syukur orangtua yang sudah memiliki Anda sebagai anaknya.
Baca Juga : 2,5 Tahun Rasakan Hidup Tanpa Wajah, Pria Ini Akhirnya Dapatkan Mata dan Hidung Baru Usai Transplantasi
Pada awal masa kehidupan seseorang, kondisi ini kemudian menimbulkan keyakinan dalam diri seorang anak, bahwa ia dicintai dan diterima apa adanya, terbangunlah apa yang disebut “basic trust” pada anak, karena hanya dengan adanya ini dalam diri seseorang, ia lalu punya kemampuan untuk mengembangkan perasaan bahwa ia berharga, bahwa ia harus berbagi dengan orang lain, membagikan perasaan-perasaan positifnya seperti dulu ia merasa nyaman saat orangtua menyayanginya, termasuk saat ia tetap merasa dicintai saat sedang tak sependapat dengan ayah atau ibunya.
Tidak semua orang belajar hal-hal yang benar untuk jadi orang yang punya kualitas positif dalam dirinya, sementara itu, orangtua juga tak selalu belajar bagaimana menjadikan diri mereka role model, orang yang punya banyak hal positif untuk ditiru, itulah keuntungan kita menempuh pendidikan, banyak membaca,mendengar, dan melihat bagaimana keluarga lain berinteraksi,dan mengekspresikan perasaannya.
Saya mohon maaf, tetapi saya kuat menduga, Anda banyak terekspos dengan konflik, dengan pertengkaran dan kebiasaan saling menyakiti, yang mendahului munculnya perasaan positif, Anda lalu jadi sosok yang perlu ribut dulu untuk mampu bermesraan, harus menciptakan konflik untuk bisa merasa nyaman karena berbaikan kembali, taruhlah, ini memang bisa berjalan dengan baik di diri Anda, artinya semua ini memang menjadi cara Anda menjalani hai demi hari, dan kemudian Anda klaim sebagai “pacaran”, tetapi, pacar Anda, yang mungkin punya pengalaman hidup yang biasa-biasa saja, tentunya akan membingkai pengalaman kebersamaannya dengan Anda, dengan cara yang berbeda.
Kalau Anda menikmatinya, maka bisa dong dia malah merasa tersiksa, pacaran, kok, ngajak berkonflik terus, bagaimana bisa beranjak lebih serius untuk kawin kalau segala hal yang tidak perlu, selalu dipermasalahkan.
Nah, saat itulah Anda harus bersiap-siap untuk kehilangan dirinya, saya tak katakan kehilangan cintanya, karena tampaknya sampai saat ini Anda masih gagal paham, apa sih yang namanya cinta?
Banyak sekali definisi tentang cinta, tetapi khusus untuk kasus Anda, saya sudah sangat senang kalau Anda percaya bahwa tak ada cinta kalau sebuah hubungan selalu diwarnai hal negative, karena, lazimnya, kalau kita mencintai seseorang, kita akan selalu ingin berada bersamanya, karena apa pun yang kita lakukan berdua, hanya akan membuat kita tak ingin berpisah, mau terus ngobrol, ingin terus bergandengan tangan, dan yang terpenting kita mau melakukan apa saja yang membuatnya happy, senyum, dan mengatakan bahwa ia bahagia bisa bersama dengan Anda. Begitu ya Sari, silakan menelisik diri, dimulai dari mengenali apa yang Anda pelajari dari orangtua, tentang bagaimana mengenali diri beserta emosi, perasaan yang bekerja dalam diri, beserta dampaknya kepada diri kita maupun orang lain yang berhubungan dengan kita. Salam sayang. (*)