Garap Film Pesantren, Shalahuddin Ingin Bangun Spirit Solidaritas

By Alsabrina, Sabtu, 7 September 2019 | 09:56 WIB
Film Dokumenter: Pesantren (dok. Good Pitch Indonesia)

NOVA.id - Keseharian sebuah pesantren di daerah Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon begitu damai.

Para santri tampak serius mengikuti berbagai kajian, mulai belajar membaca Alquran, diskusi, hingga belajar kesenian.

Dengan teratur, mereka mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Termasuk jadwal mengaji.

Baca Juga: Diuji Percintaan dengan Orang Ketiga dan Hubungan Masa Lalu, Ini Ramalan Zodiak Tabloid NOVA Terbaru Edisi 1646

“Kenapa yang namanya teroris selalu dikaitkan dengan pesantren. Padahal apa coba? Santri itu kan kerjanya cuma ngaji,” kata salah satu santri di pesantren Pondok Kebon Jambu Al-Islami, Cirebon.

Gambaran itu ada dalam cuplikan film dokumenter berjudul “Pesantren”.

Film yang disutradarai oleh Shalahuddin Siregar ini memang mencoba menggambarkan secara utuh, seperti apa kehidupan di sebuah pesantren.

Baca Juga: Cek Jenis Kelamin Anak Kembarnya, Syahnaz Menjerit Dengar Keterangan Dokter: Serius? Sumpah Dok?

Melalui pendekatan observasional, Shalahuddin membuat film dokumenter ini untuk mengungkapkan lebih jelas kepada penontonnya, bahwa pesantren dan para santri di dalamnya tak seburuk yang dikira banyak orang.

Sang sutradara pun berterus terang alasan yang membuatnya tertarik menggarap film ini.

Dalam film “Negeri di Bawah Kabut” (2009), Shalahuddin menyebut ada anak berusia 12 tahun yang pengin masuk SMP.

Adegan dalam film dokumenter Pesantren (dok. pribadi)

Baca Juga: Panggilan Sayang untuk Sang Pacar Dikritik Netizen, Cita Citata: Dia Happy!

Nilai kelulusannya bagus, tapi orangtua si anak enggak mampu membiayai karena banyak kebutuhan. Alhasil, si anak kemudian masuk pesantren.

“Ketika filmnya diputar, banyak yang menyayangkan anak itu masuk pesantren, karena mereka menganggap nanti anaknya jadi teroris,” kata Shalahuddin.

“Saya selalu terganggu dengan stigma, karena itu saya kepengin mengenal pesantren dan pembuatan film ini adalah pencarian itu," lanjutnya.

Baca Juga: Ria Irawan Kembali Dirawat di Rumah Sakit, Keluarga Benarkan Kanker yang Diidap Menyebar ke Organ Lain

 

 

Seakan jodoh, Shalahuddin bertemu dengan pesantren Pondok Kebon Jambu untuk di-filmkan.

Pesantren tersebut semakin membuatnya tertarik lantaran dipimpin oleh seorang perempuan.

“Karena pesantren itu dipimpin oleh perempuan yang dalam tradisi pesantren salaf dipanggil Ibu Nyai. Saya tertarik dengan bagaimana pengaruh Ibu Nyai ini,” ungkap Shalahuddin.

Baca Juga: Terawang akan Ada Bencana Menyapu Sebuah Pulau, Wirang Birawa Bocorkan Waktu Kejadiannya

Untuk mewujudkan film tersebut, Shalahuddin bersama tim mulai melakukan riset tahun 2015.

Proses produksi dilakukan April 2017-Mei 2019, namun proses syuting sebenarnya hanya berlangsung 90 hari.

Ditemui Tim NOVA.id di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Shalahuddin juga menyebutkan jika nantinya akan ada diskusi terbuka untuk film ini.

Baca Juga: Tak Pernah Tanggapi DM Vicky Prasetyo, Tamara Bleszynski Beri Balasan Pedas Melalui Sang Putra

Sehingga, diharapkan bisa membuka dialog di segala lapisan dan menciptakan spirit solidaritas. (*)