Sempat panik, ibunya pun membawa Amanda ke dokter untuk diperiksa. Kata Amanda, “Dokter bilang aku tuli, mama aku enggak percaya. Dia (kemudian) bawa aku ke Singapura dan Hong Kong juga, untuk periksa. Tapi hasilnya sama. Mama sempat enggak menerima keadaanku.”
Seingat Amanda, dia tak tahu dirinya tuli sampai dia masuk ke bangku sekolah.
Waktu itu, ibunya memasukkan dia ke sekolah umum, bukan SLB (Sekolah Luar Biasa). Di situlah dia baru tahu kalau dirinya berbeda dari teman-temannya yang lain.
“Banyak yang bully aku, karena kekuranganku. Aku merasa stres banget, karena sulit berkomunikasi. Aku jadi jelek nilainya, karena guru terlalu cepat membahasnya, sedangkan aku hanya bisa baca bahasa bibir saja,” kisah Amanda.
Kesulitan yang dihadapi Amanda, membuat dirinya sampai menangis.
Dia merasa susah sekali mengejar pelajaran di sekolah. Hingga akhirnya ibunya menyadari bahwa Amanda harus masuk ke SLB. Nah, dia pun akhirnya pindah ke SLB Pangudi Luhur, Jakarta saat dia duduk di bangku kelas 1 SMA.
Amanda senang, karena banyak teman senasib di sekolah. Makanya dia merasa nyaman dan bahagia.
Di sekolah itu pula Amanda mulai mengenal bisindo, yang bisa membantunya berkomunikasi dengan orang lain.
Tapi yang lebih penting lagi, di sekolah itu pula Amanda sudah berani bermimpi. Saat itu dia bermimpi jadi model, meski kemudian banyak teman meragukannya.
“Tapi, mama menguatkan aku kalau aku bisa jadi model. (Terus) aku ikut kontes model majalah saat itu. Sempat ditolak enam kali, karena model kan yang dilihat fisik dan kualitasnya. Sampai tahun 1999, aku (akhirnya terpilih) jadi model Majalah Kawanku,” cerita Amanda.
Nasib baik memang berpihak pada Amanda, karena dia sering diminta jadi model iklan. Parasnya yang cantik, membuatnya sering kebanjiran tawaran menjadi model. Saat itu Amanda mengaku sangat bersyukur menjadi manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan.