6 Tips ala Najelaa Shihab untuk Orangtua saat Hadapi Anak yang Sedang Belajar dari Rumah, Patut Dicontoh!

By Maria Ermilinda Hayon, Selasa, 23 Juni 2020 | 23:00 WIB
Saat Anak Belajar dari Rumah, Harus Belajar Realistis, dong, Bu! (Istock )

NOVA.id - Dalam kondisi normal pun, peran orangtua bagi anak sangat penting.

Namun dalam kondisi new normal, di mana anak menjalani sistem pembelajaran belajar dari rumah (BDR), peran orangtua berkali-kali lipat lebih penting.

Tugasnya pun menjadi bertambah banyak, karena seolah kelimpahan peran sekolah.

Baca Juga: Temani Anak Belajar dari Rumah, Kemampuan Ini Penting Kita Miliki

Saat anak setiap hari belajar dari rumah, orangtua harus memfasilitasi proses belajar anak, memberikan instruksi, memonitor, dan mendampingi anak. Sehingga wajar sekali jika orangtua merasa stres.

Apalagi, si anaknya juga stres karena sulit mengikuti pelajaran plus stres karena tak bisa berkumpul dengan teman-temannya.

Tapi tenang, Najelaa Shihab, pendidik dan founder Keluarga Kita, punya solusi untuk atasi tantangan selama BDR ini dengan membangun kolaborasi antara orangtua, anak, dan juga sekolah.

Bagaimana praktiknya?

Baca Juga: Pengamat Pendidikan: Tanpa Disadari, Kita Paksa Anak ke Era Digital

1. Buat Kesepakatan 

Langkah pertama—dan ini adalah yang paling penting—yaitu menyepakati tujuan-tujuan belajar esensial yang membuat proses pembelajaran jarak jauh ini bisa berjalan dengan tetap menyenangkan dan bermakna.

Di antaranya, masalah kemandirian dan sikap inisiatif anak untuk melakukan tanggung jawab belajarnya selama BDR.

Baca Juga: Ini Pentingnya Kolaborasi Orangtua dan Guru Saat Anak Belajar di Rumah

Jadi, buatlah kesepakatan bersama yang di dalamnya terkandung aturan dan konsekuensi belajar selama BDR agar terjadi pola disiplin positif di rumah.

Alhasil, anak jadi lebih mudah mengatur waktu belajar, punya tenggat waktu dalam mengerjakan tugas, dan mengumpulkan tugas sesuai instruksi guru tanpa perlu ada drama dulu.

"Ingat juga, isi kesepakatan tentu bukan cuma aturan satu arah, tetapi memang harus ada komunikasi dan diskusi bersama anak. Kesepakatan ini juga bukan hanya mengikat anak, tetapi juga berkaitan dengan jadwal kita semua di rumah. Kapan waktunya kerja, rapat, kapan gawainya harus dipakai berbagi dengan anak, dan sebagainya. Jadi memang harus melibatkan komunikasi dengan seluruh anggota keluarga untuk membuat kesepakatan,” ujar Najelaa saat diwawancara oleh NOVA.

Baca Juga: Tahun Ajaran Baru 2020, Kita Masih Temani Anak Belajar dari Rumah

Infografis: Beda Homeschooling, Unschooling, dan Belajar Online. (NOVA)

2. Atur Ekspektasi

Buatlah harapan yang lebih realistis untuk mengurangi stres selama BDR dengan mempertimbangkan kondisi dan tahap perkembangan anak.

Misalnya, apakah realistis mengharap anak usia TK untuk mendengarkan video atau menyelesaikan tugas selama 30 menit

Baca Juga: Sekolah Tatap Muka Dibolehkan, Nadiem Makarim: Asal Ada Persetujuan Orang Tua Murid

Padahal, kebanyakan anak usia 4-5 tahun rentang konsentrasinya bertahan di enam menit pertama.

Berarti, kita bisa membiarkan anak belajar sendiri dalam periode 5-10 menit dan memberikan kegiatan lain di sela-selanya.

Lalu, apakah realistis meminta anak belajar delapan jam di rumah selayaknya di sekolah

Baca Juga: Tahun Ajaran Baru 2020 Dimulai, Mendikbud Pastikan Soal Kesehatan dan Keselamatan Nomor Satu

Berdasarkan data, saat di rumah, usia anak sekolah menengah hanya mampu belajar paling maksimal selama 4 jam.

“Jangan sampai yang terjadi adalah seakan kurikulumnya tuntas, tapi anak-anaknya menderita. Jadi, seolah-olah kita menang selama empat bulan ini, tetapi pada akhirnya semangat untuk lifelong learning, keinginan untuk mengeksplorasi keingintahuan, juga dorongan untuk mempelajari hal-hal lain justru mati dalam diri anak," ungkap Najelaa.

Tentu bukan itu yang kita inginkan dari proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah, kan.

Baca Juga: Penerimaan Peserta Didik Baru Online Sudah Mulai Dibuka, Begini Caranya Biar Lancar Daftar

3. Komunikasi dengan Guru

Kita sebagai orangtua, belum tentu mempunyai kompetensi untuk memfasilitasi tujuan-tujuan pembelajaran anak selama BDR.

Maka itu, dibutuhkan kerja sama yang intens dengan guru, selain lewat grup kelas dan perwakilan orangtua, kita juga wajib menjalin komunikasisecara pribadi. Baca Juga: Emosi Saat Ajak Anak Belajar Selama SFH? Coba Lakukan Teknik Ini!

Pasalnya, tidak semua isu di sekolah adalah isu bersama.

Mungkin saja, ada beberapa hal khusus yang harus dikomunikasikan langsung secara pribadi dan rahasia dengan gurunya.

Namun, perlu juga disepakati jadwal menghubungi guru untuk meninjau instruksi dan proses belajar anak dengan empati sebagai modal utama.

Baca Juga: Selama Sekolah dari Rumah Anak Jadi Malas Belajar? Ini Cara Atasinya

Dengan empati ini, kita bisa terhindar dari sikap marah-marah dan menyalahkan, sebab BDR juga hal baru bagi guru dan sering kali guru juga orangtua seperti kita.

Ya, terlepas dari peran yang berbeda, orangtua dan guru tujuannya sama dan harus saling melengkapi serta berkolaborasi untuk mendukung kesuksesan anak.

“Sekali lagi, kalau ada rasa empatinya, ada rasa saling percayanya, maka enggak ada yang enggak bisa diselesaikan. Prinsipnya: segera. Begitu ada umpan balik, disampaikan segera. Begitu ada informasi yang menurut kita guru perlu tahu, informasikan segera. Saya bilang lebih baik over communication daripada tidak berkomunikasi,” ujar founder Keluarga Kita ini.

Baca Juga: Masuki New Normal, Jangan Lagi Sepelekan Flu pada Anak yang Bisa Picu Hal Ini

4. Kenali Pola Belajar Anak

Ada anak yang butuh ruangan yang minim distraksi, posisi tertentu, penerangan tertentu, bahkan jam tertentu untuk belajar.

Tapi, ada juga anak yang justru lebih senang belajar di tengah-tengah keramaian dan lebih bisa berkonsentrasi ketika ada suara.

Baca Juga: Jangan Langsung Dibuang, Tali Pusar pada Bayi Ternyata Bisa Jadi Obat Kanker, Begini Penjelasannya

Oleh karenanya, penting untuk mengenali karakteristik belajar anak.

Observasi pola belajar dari kebiasaan anak terdahulu, komunikasi dengan guru, atau observasi selama beberapa hari BDR.

Setelah tahu pola belajar yang tepat, rancang dan fasilitasi lingkungannya menjadi sesuai.

Baca Juga: 5 Perilaku Orang Tua yang Tanpa Sadar Bangkitkan Konflik Pilih Kasih untuk Anak-anaknya

Ingat, jangan heran apalagi merasa bersalah, ya.

Ketika melihat ada hal baru dari anak yang kita tidak tahu sebelumnya.

Tetapi, jadikan sebagai informasi baru agar bisa menyesuaikan pola asuh kita sebagai bentuk dukungan belajar bagi anak.

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir, Kita Bisa Bantu Tingkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Tanpa Suplemen dengan Cara Ini

5. Jangan Ambil Alih

Kebutuhan psikologis dan sosial anak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kompetensi yang utuh.

Kita bukan hanya ingin anak cerdas, tapi juga mandiri, reflektif, pandai berkomunikasi dan berinovasi.

Baca Juga: Si Kecil Doyan Mengemut Makanan? Pakai Cara Ini agar Kebiasaannya Hilang

Maka itu, jangan sampai mengambil alih tugas anak selama BDR.

“Jangan pakai alasan, yang penting selesai atau biar bisa dapat 100, ya. Tapi, anak diajarkan untuk lebih komunikatif saat dia tidak bisa, bagaimana cara bertanya dengan teman, dan sebagainya. Tujuan-tujuan itu yang harus kita ingat dalam proses ini,” jelas Najelaa.

Yap, jangan lagi memanjakan anak dan pusing sendiri, ya.

Baca Juga: Sekolah Online, Orang Tua Perlu Lakukan Hal Ini untuk Cegah Kerusakan Penglihatan pada Anak Saat Gunakan Gadget

6. Penuhi Kebutuhan Diri

Selama BDR, ketuntasan kurikulum penting.

Tapi, kebutuhan sosial dan psikologis anak juga penting dimengerti.

Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Dilakukan agar Anak Mau Belajar Mengakui Kesalahan

 

Anak bisa punya kecemasan, rasa bosan, dan perasaan rindu dengan teman-temannya.

Sehingga, mereka mungkin saja jadi lebih drama dan emosional.

Maka itu, kemampuan orangtua mengelola emosi untuk jadi sangat esensial.

Baca Juga: Ini 5 Cara Jitu agar Anak Tak Malas Mandi Selama di Rumah Aja

Sebab, jika sama-sama drama maka akan timbul konflik yang bisa menjadi letupan-letupan emosi.

Pada akhirnya, bukan kehangatan keluarga yang terjadi, tetapi kebersamaan 24 jam ini justru merenggangkan hubungan.

“Salah satu cara mengelola emosi yang paling dasar itu adalah memenuh kebutuhan diri. Karena kalau kitanya capek, laper, stres dan segala macam, jadi susah memenuhi kebutuhan anak. Makanya, Selalu penuhi kebutuhan diri dan kenali apa yang kita butuhkan. Sehingga, kita juga bisa lebih sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak,” jelas Najelaa.

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)