Asupan Gizi dan Nutrisi Remaja Putri Menentukan Nasib Stunting pada Anak Indonesia

By Tentry Yudvi Dian Utami, Sabtu, 29 Agustus 2020 | 13:31 WIB
Asupan Gizi dan Nutrisi Remaja Putri Menentukan Nasib Stunting Pada Anak Indonesia (iStock)

NOVA.id - Masalah stunting masih menjadi isu besar bagi kita semua.

Beragam upaya untuk mencegah stunting telah dilakukan oleh banyak pihak.

Tapi, sebetulnya remaja adalah kelompok usia potensial yang bisa dilibatkan dalam berbagai program pencegahan stunting sejak dini.

Baca Juga: Tips agar Kita Bisa Tahu Anak Tumbuh dengan Baik dan Optimal

Mengapa remaja dilibatkan?

Menurut Indiana Basitha, Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation banyak yang menyangka isu stunting hanya untuk orangtua dan pasangan yang sudah menikah.

Padahal sebenarnya stunting adalah sebuah siklus.

Jika calon ibu punya asupan gizi kurang sejak remaja ia beresiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan terus berputar.

Baca Juga: Anak Alami Obesitas? Jangan Buru-Buru Panik, Ini yang Harus Orangtua Lakukan

“Siklusnya dimulai sejak remaja putri. Maka masalah stunting harus jadi awareness sejak remaja agar mereka menjaga asupan gizinya, karena ia adalah calon orangtua,"ujarnya.

Data Riskesdas 2018 menunjukkan, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus.

Global Health survei 2015 menunjukkan, penyebabnya antara lain remaja jarang sarapan, 93 persen kurang makan serat sayur buah.

Ditambah angka pernikahan remaja di Indonesia tinggi, padahal hal ini berkontribusi pada kejadian stunting.

Baca Juga: Jangan Sampai Salah Lagi, Kenali Ciri-Ciri Mental Anak yang Sehat

Remaja belum aware pentingnya gizi dan stimulasi yang tepat.

Pengetahuan mereka sangat terbatas tapi mereka harus menikah, hamil dan jadi ibu.

Melinda Mastan, salah satu penerima Tanoto Scholars angkatan 2017 menambahkan, penting untuk melibatkan remaja dalam penanggulangan stunting karena beberapa alasan.

Pertama, remaja berada di garis depan dalam inovasi dan agen perubahan.

Baca Juga: Pentingnya Dukungan Orangtua Selama 4 Tahap Belajar Menulis pada Anak

“Saat ini eranya diambil alih oleh anak muda. Banyak inovasi dikembangkan anak muda yang sudah memulainya sejak remaja. Dari merekalah inovasi lahir karena mereka masih memiliki semangat, idealisme, dan kreativitas tinggi,” jelas sarjana Gizi dari FKUI ini.

Oleh karena itu, remaja bisa menjadi pintu masuk untuk pengembangan program.

“Remaja juga calon orangtua masa depan. Penelitian menyebutkan, status gizi ibu akan berpengaruh pada anaknya. Status gizi ibu ini sudah dibangun sejak mereka remaja, sehingga perilaku dan kebiasaan hidup yang sehat sudah harus dibangun sejak remaja,” tambahnya.

Baca Juga: Beberapa Tips Permainan dengan Anak untuk di Rumah dari Paddle Pop

Pengamat kesehatan Dr. Reisa Broto Asmoro juga sependapat bahwa jika di masa remaja belum dapat ilmu tentang gizi, akan sulit ke depannya dalam kehidupan keluarga.

“Indonesia darurat stunting. Kita butuh gerakan yang nyata, yang bisa mengubah kondisi ini. Kondisi anak sudah stunting tidak bisa berubah, yang penting bagaimana kita harus menyelamatkan generasi setelahnya,” ujar dr. Reisa.

Menurut Reisa, saat ini tidak ada ilmu parenting di sekolah. Paling hanya kesehatan reproduksi.

Baca Juga: Jangan Lakukan Lagi, Ini Bahaya Mencekoki Anak yang Susah Makan!

Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah memasukan ilmu ini di masa remaja yang sedang ingin tahu segala sesuatu, apalagi di masa pubertas.

Kalau tidak punya pengetahuan, mereka nggak akan siap saat harus merawat anak.

Edukasi di usia remaja, sejak usia 10-19 tahun adalah masa krusial.

Baca Juga: Orangtua Dilarang Menghukum Anak dengan Cara Dipukul, Ini Akibat Fatal yang Bisa Terjadi

“Harus tepat informasinya. Apalagi Indonesia kebanyakan mitosnya yang belum tentu benar tapi lebih dipercaya. Takutnya info yang kurang tepat akan mereka bawa terus sampai nanti punya anak,” tambah dr. Reisa.

Peran remaja dalam pencegahan stunting berfokus pada tiga hal:

1. Edukasi. Remaja harus melek dengan isu stunting. Rajin mencari tahu dan terlibat aktif dalam diskusi/program mengenai stunting.

2. Inovasi. Membuat inovasi baru yang dapat mengasah ketertarikan teman sebaya mengenai isu ini.

Bisa ekplorasi cari tahu tentang stunting. Berperan sebagai peer educator bagi teman sebaya karena akan lebih impactful dibanding webinar yang kaku.

Baca Juga: Wajib Tahu, Ini 5 Tips Menyusui Bayi untuk Ibu yang Bekerja dari Rumah

3. Implementasi. Berperan aktif dalam mewujudkan inovasi yang dimiliki dengan berkolaborasi dengan lembaga terkait mau pun universitas.

Caranya bisa dengan terjun langsung ke masyarakat, diawali dari lingkungan terdekat (keluarga) untuk memberi edukasi terkait stunting.

Mengusulkan program atau membuat inovasi terkait stunting). Byk inovasi menarik yg dibuat remaja.

Tanoto Fpundation juga sedang menjajaki program yang melibatkan remaja.

Baca Juga: Diam-Diam Simpan Bahaya, Stres pada Anak Bisa Jadi Silent Killer!

Contoh nya adalah writing competition bekerja sama dengan universitas. Selain itu membuat aplikasi untuk ibu yang masih usia remaja.

Kampanye dan edukasi stunting sangat bisa dilakukan oleh remaja, misalnya melalui sosial media.

Dan bukan tidak mungkin, kata Melinda, remaja mulai sekarang dilibatkan dalam kegiatan Posyandu yang miskin kaderisasi.

“Kita bisa mendukung remaja dalam program penanggulangan stunting, dengan melibatkan remaja secara langsung. Setidaknya mendengarkan ide-ide mereka untuk mendapatkan perspektif baru,” ujarnya.

Baca Juga: Soal dan Jawaban Materi Belajar dari Rumah TVRI untuk Kelas 1- 3 SD Selasa 28 Juli 2020: Penjumlahan Tanpa Menyimpan

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)