NOVA.id - Untuk memutus mata rantai penulran Covid-19 penerapan praktik tracing, testing, dan treatment (3T) sama pentingnya dengan penerapan memakai masker, menjaga jarak, dan cuci tangan pakai sabun (3M).
Namun, dalam praktiknya masyarakat lebih mengenal istilah 3M dibandingkan dengan 3T. Hal tersebut dibuktikan langsung oleh lembaga survei Ipsos Indonesia, di mana ada 29 persen masyarakat yang tidak paham mengenai 3T. Sebaliknya, 99 persen masyarakat mengaku paham terhadap 3M.
Artinya, masih ada masyarakat yang menganggap perilaku 3M dan 3T adalah dua hal yang terpisah padahal kenyataannya justru kedua hal tersebut diakuinya merupakan satu paket dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.
Managing Director, Ipsos Indonesia Soeprapto, masih banyak masyarkat menggap prilaku 3M dan 3T sesuatu hal yang berbeda. Pada kenyataannya, kedua hal tersebut justru harus berjalan secara berkesinambungan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Baca Juga: Amankah Periksa Kehamilan di Rumah Sakit Selama Pandemi Covid-19? Berikut Penjelasan Dokter
“Kampanye 3M di awal-awal sangat kencang sekali dan terus berjalan sampai sekarang. Jika 3M tidak berjalan, maka 3T pasti akan lebih parah. Sekarang 3M sudah berjalan, saatnya kita mulai membicarakan 3T,” kata Soeprapto pada dalam dialog bertemakan “Optimisme Masyarakat terhadap 3T” yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (12/11/2020). Soeprapto mengatakan, salah satu faktor yang menghambat kampanye 3T adalah ketakutan atas stigma masyarakat. Pemerintah perlu menghimbau masyarakat agar tidak mengucilkan pasien positif COVID-19, namun memberikan dukungan dan keprihatinan agar stigma negatif di mata publik bisa menghilang.
Penasihat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarinvest) Monica Nirmala menjelaskan, 3M membicarakan tentang peran individu. Sementara itu, 3T berbicara tentang bagaimana memberi notifikasi atau pemberitahuan pada orang di sekitar untuk waspada.
“Jadi ada satu proses yang tidak hanya melibatkan individu, tapi juga orang yang lebih banyak,” kata Monica.
Baca Juga: Overthinking Selama Pandemi Covid-19? Begini Cara Mengatasinya
Lebih lanjut, Monica menerangkan, pemeriksaan dini penting dilakukan agar bisa mendapat perawatan dengan cepat, dan potensi penularan bisa dihindari.
Sementara itu, setelah pelacakan atau identifikasi oleh petugas kesehatan, kontak-kontak terdekat pasien positif Covid-19 harus harus melakukan isolasi atau mendapat perawatan lebih lanjut. Seandainya ketika dilacak si kontak erat menunjukkan gejala, maka perlu dilakukan tes, kembali ke praktik pertama (testing),” kata Monica.
Kemudian, perawatan akan dilakukan apabila seseorang positif COVID-19. Jika ditemukan tidak ada gejala, maka orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri di fasilitas yang sudah ditunjuk pemerintah.
Baca Juga: Bantu Edukasi dan Donasi di Tengah Pandemi Covid-19 dengan Cara Mudah Ini yuk!
Sebaliknya, jika orang tersebut menunjukkan gejala, maka para petugas kesehatan akan memberikan perawatan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah.
Hingga saat ini, Monica mencatat ada tiga indikator yang menjadi standarisasi pemeriksaan COVID-19 yakni, jumlah spesimen, kecepatan hasil pemeriksaan, dan rasio positif.
“Di Indonesia angka testing rata-rata mencapai 24.000-34.000 orang per hari,” jelas Monica.
Laboratorium yang dimiliki Indonesia sangat memadai untuk melakukan pemeriksaan sesuai standar WHO. Kapasitas tes di laboratorium hampir 80.000. Kendalanya justru pada individu, ketika seseorang menunjukkan gejala COVID-19, kontak eratnya takut untuk memeriksakan diri (testing).
Baca Juga: Tips Menjalankan Isolasi Mandiri di Rumah dengan Ruang Terbatas
“Setiap orang harus mengambil peranan untuk memutus rantai dengan berpartisipasi kooperatif menerapkan 3M dan 3T,” ujar Monica.
Menurutnya, ada beberapa strategi bisa dilaksanakan pemerintah untuk memperkuat upaya perubahan perilaku di masyarakat. Untuk 3T, lakukan deteksi awal penyebaran Covid-19 dengan testing dan tracing yang tepat sasaran.
Pemerintah harus memperkuat manajemen perawatan pada pasien Covid-19. Jadi, walaupun vaksin Covid-19 nantinya sudah ditemukan dan bisa didistribusikan, perilaku 3M dan 3T harus tetap dijalankan.
“Kalau misalkan mendapatkan vaksin Mei atau Juni (2021), kebiasan terhadap 3M dan 3T harus tetap kita jalankan sampai pemerintah benar-benar memberikan informasi bahwa COVID-19 sudah tidak ada,” kata Soeprapto.
Baca Juga: Jangan Panik, Jika Anak Positif Covid-19 Segera Lakukan Penanganan Ini!
Monica pun menambahkan. “Jadi dengan 3M dan 3T sama pentingnya dan satu kesatuan, kita berupaya memutus mata rantai penularan COVID-19 dengan kita melindungi diri dan melindungi sesame,” tambah Monica.
Saat ini 3M masih satu-satunya cara cara pencegahan paling ampuh. Jadi kita harus konsisten dan jangan lengah untuk melakukan 3M.
Bersamaan dengan itu kita semua serta masyarakat harus mendukung pelaksanaan 3T, terutama dalam hal testing. Karena apabila masyarakat tidak mau melakukan testing, maka tracing tidak akan terjadi.
Jadi ingat ya! Selain 3M Sahabat NOVA juga harus menerapkan 3T guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.