NOVA.id – Hingga kini, kanker payudara tahap lanjut masih menjadi persoalan kesehatan global.
Menurut data dari Globocan, pada 2020 ada 44,2 per 100.000 kasus baru per tahun.
Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara.
Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) menemukan, dari 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70 persen adalah stadium 3 dan 4.
Baca Juga: Rekomendasi Aplikasi untuk Mempermudah Dokter Terapi Sistematik Kanker
Untuk menekan kejadian kanker payudara tahap lanjut, dibutuhkan sebuah kebijakan nasional mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan.
Kerjasama antar negara diharapkan bisa menjadi ajang berbagi pengalaman, bagaimana menangani kanker payudara secara komprehensif dan menyeluruh.
Salah satu bentuk kerjasama antar negara di bidang kanker payudara adalah forum The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS).
Tahun ini, SEABCS ke-5 akan diselenggerakan di Indonesia, di mana Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) ditunjuk sebagai penyelenggara.
Baca Juga: Penyebab Benjolan pada Payudara yang Tidak Boleh Disepelekan
SEABCS adalah sebuah forum global berkumpulnya para tenaga medis profesional di bidang kanker payudara, komunitas-komunitas kanker payudara, pasien, penyintas, bidan, tenaga kesehatan, dan wakil pemerintah.
Jika sebelumnya pertemuan dilakukan secara offline, khusus tahun ini SEABCS mengadakan pertemuan secara daring mengingat pandemi COVID 19 yang masih melanda.
SEABCS 2021 akan dihelat selama selama 2 hari yaitu 31 Juli 2021- 1 Agustus 2021 dengan mengangkat tema Putting Patients to the Hearts of Cancers Control, atau menempatkan pasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker.
Baca Juga: Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari Jika Tak Ingin Terkena Kanker Payudara
Linda Agum Gumelar, S.IP, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) mengungkapkan, “Masalah yang dihadapi hampir semua komunitas kanker payudara di negara ASEAN, sebenarnya hampir sama.”
Misalnya, pemahaman tentang penyakit kanker yang minim, kesadaran deteksi dini yang rendah, menunda terapi, akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas, hingga kebijakan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan dalam penanganan pasien kanker.
Menurut Linda, meskipun persoalan yang dihadapi sama, namun terkadang penyelesaiannya berbeda.
Baca Juga: Apakah Memakai Bra Saat Tidur Berbahaya? Ini Penjelasan Ilmiahnya
“Kita banyak belajar dari berbagai komunitas di negara lain. Di Philipina misalnya, komunitas kanker payudara di sana berhasil memasukkan persetujuan dari parlemen bahwa pelayanan kanker payudara menjadi prioritas pemerintah,” lanjutnya.
Sebaliknya, kata Linda, komunitas di negara lain pun banyak belajar dari Indonesia.
Misalnya, mereka belajar dari YKPI bagaimana memanfaatkan organisasi perempuan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu BKOW (Badan Kerjasama Organisasi Wanita) tingkat provinsi.
Baca Juga: Waspada jika 3 Perubahan Ini Terjadi pada Payudara, Segera Cek ke Dokter
Kemudian tingkat kabupaten/kota ada GOW (Gabungan Organisasi Wanita).
Selain itu, mobil mamografi milik YKPI sebagai sarana deteksi dini, adalah satu-satunya atau pertama di ASEAN yang menjadi contoh dan banyak diikuti negara lain.
Mewakili Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) dr. Kardinah SpRad(K), menambahkan, deteksi dini dimulai dari SADANIS yang bisa dilakukan sendiri oleh semua individu.
Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mamograf, perkembangan saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit.
Baca Juga: Inilah Beberapa Cara untuk Lakukan Pencegahan Dini Terhadap Kanker
Di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, tersedia mamografi , yang berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis).
Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.
“Sarana deteksi dini sudah ada, program nasional telah dibuat sejak 2008, sistem rujukan diperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Hanya berpikir benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar dr. Kardinah.
Selain itu, setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar.
Baca Juga: Kenali 6 Bahaya Suntik Silikon Payudara, Pertimbangkan Matang-Matang!
Menurut Ketua PERABOI, dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, “Ketika pasien merasa ada benjolan, untuk berani datang ke fasilitas kesehatan butuh waktu 1-3 bulan.”
“Sampai ditangani dengan benar butuh waktu 9-15 bulan. Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” papar dr. Walta.
Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.
Menurut dr. Walta, “Masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer me fasilitas sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain.”
Baca Juga: Jangan Keburu Panik, Benjolan di Payudara Ternyata Tak Selalu Kanker
Ning Anhar sebagai Wakil Ketua Penyelenggara, menjelaskan, melalui SEABCS ini, kerjasama dengan berbagai komunitas, para ahli, dan pengambil kebijakan diharapkan akan ditingkatkan.
“Harapannya melalui SEABCS akan lahir sebuah rekomendasi yang merupakan hasil pemikiran para ahli dan peserta, yang kemudian bisa dibawa ke pembuat kebijakan masing- masing negara,” ujar Ning.
Dokter Walta juga mengharapkan hal yang sama. “Di forum SEABCS kita ingin sharing bagaimana cara mereka mendapatkan data, mengatur regulasi supaya pasien yang ditemukan kanker tahap dini tidak butuh waktu lama untuk ditangani. Apalagi soal teknik operasi kita tidak ketinggalan dengan negara lain.”
Hal senada disampaikan oleh dr. Kardinah.
“SEABCS adalah ajang advokasi ke pemerintah dalam hal tatakelola program yang terdiri dari tindakan preventif, kuratif hingga paliatif. Tatakelola manajemen di tingkat rumah sakit pun harus dibenahi. Selama ini lebih banyak profesi yang bergerak. Kita mau standar tertentu, tapi infrastruktur di RS tidak memadai.”
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)