Bangkitkan Harapan Melalui Novel Almond: Kisah Remaja Korea yang Bisa Naikkan Empati

By Redaksi NOVA, Minggu, 19 September 2021 | 22:08 WIB
Ilustrasi - Empati (istock)

NOVA.id - Belakangan ini, marak bertebaran baliho wajah tokoh-tokoh politik di berbagai tempat. Banyak yang menduga ini sebagai pemanasan jelang pilpres (pemilihan presiden) 2024, tetapi, tidak sedikit yang mengkritik cara itu.

Di tengah jungkir balik bangsa ini menghadapi pandemi yang seakan tak berujung, tokoh-tokoh yang ada di berbagai baliho itu dinilai tidak punya sense of crisis atau kepekaan dalam menghadapi krisis yang dirasakan sebagian besar masyarakat.

Namun, kita tinggalkan saja masalah itu, biarkan para analis dan pengamat politik yang membahasnya. 

Baca Juga: Pintar Atur Uang Ini 4 Cara Menghemat Saat Sudah Punya Anak

Sekarang, kita fokus kepada sesuatu yang membangkitkan harapan. Salah satunya adalah buku Gramedia, yakni novel Almond. Novel remaja Korea yang membangkitkan empati.

Novel Almond adalah novel yang memberi harapan dan mengajarkan pada kita semua bahwa setiap anak lahir dalam kondisi suci dan bersih bagai kertas putih kosong.  

Tokoh utama dalam novel Almond ini didiagnosis menderita Alexithymia atau ketidakmampuan mengungkapkan emosi serta merasakannya. Alexithymia merupakan penyakit kejiwaan yang dilaporkan pertama kali pada jurnal kesehatan tahun 1970-an.

Alexithymia terjadi dapat karena kurang berkembangnya rasa emosional selama masa kanak-kanak, pasca-gangguan stres traumatis, atau bisa juga terjadi karena penderita dilahirkan dengan amigdala yang berukuran kecil.

Baca Juga: Pelihara Hewan Bikin Boros? Ini Cara Menghemat Pengeluaran yang Tepat

Rasa takut adalah emosi yang paling tidak dapat diidentifikasi oleh bagian otak ini. Penderitanya tidak dapat merasakan emosi dan tidak bisa membaca emosi orang lain sehingga mengalami kebingungan dalam merespons emosi. Yang terjadi pada tokoh utama di dalam novel Almond ini adalah “amigdala” di dalam kepalanya tidak tumbuh seperti anak normal lainnya. 

Setiap orang memiliki ‘amigdala’. Letaknya jauh terbenam di belakang telinga hingga ke dalam kepala. Amigdala adalah sekelompok saraf yang bentuknya kurang lebih sebesar biji almond.

Namun, sepertinya ada masalah dengan ‘almond’ di dalam kepala Yoonjae si tokoh utama. Oleh karena itu, ia tidak dapat memahami mengapa orang lain tertawa atau menangis. Ia juga tak bisa merasakan dengan jelas apa itu rasa bahagia, sedih, cinta, dan takut.

Baca Juga: Cherly Juno Blak-blakan Bilang Lahiran Sesar Taruhan Nyawa Gegara Dicibir Netizen

Baginya, emosi dan empati hanyalah bayang-bayang samar. Bahkan, ia tidak dapat menunjukkan respons yang tepat pada saat temannya jatuh atau terluka, ia tak membantu atau bahkan sekadar untuk menyatakan empatinya. Karena kekurangannya itu, Yoonjae dijuluki monster.

Walaupun keadaan Yoonjae seperti itu, ibunya tak menyerah. Ibunya sekuat tenaga menutup-nutupi keadaan anaknya yang berbeda itu. Ibunya selalu mengajarkan bagaimana respons yang mesti dilakukan oleh YoonJae jika orang sedang merasa kesakitan, ketakutan, atau ketika bahagia.

Hingga YoonJae remaja pun terbiasa merespons berbagai kondisi emosi lawan bicaranya meskipun ia tak mampu menampakkan perubahan ekspresi seperti orang normal lainnya.

Hingga semuanya berbalik. Diawali dari Yoonjae berjumpa dengan “monster” lainnya, seorang berandalan bernama Gon.

Baca Juga: Ahmad Dhani Blak-blakan Bilang Nyesel Mimpi Jadi Musisi Indonesia

 

Monster yang suka memukuli Yoonjae dan penasaran dengan kondisinya yang tidak bisa merasakan sakit dan tak mengaduh sama sekali ketika ditendang dan dihajar hingga babak belur. 

Bahkan, Yoonjae tidak pernah membalas perlakuan kasar Gon kepadanya. Alih-alih balik memukul atau menyerang, Yoonjae malah menunjukkan “rasa kasih” kepada Gon. Suatu “perasaan” yang selama ini asing bagi Yoonjae. Bahkan, Yoonjae dapat berbincang dan mendiskusikan hal-hal menarik bersama Gon. 

Sohn Won-Pyung, pengarang novel ini, menulis,  “Apakah anak ini dapat terus memberikan cinta tanpa peduli bagaimana dia tumbuh nanti?”, “Apakah aku sendiri juga bisa memberikan cinta?

Baca Juga: Banyak Digunakan, Jas Hujan Ponco Ternyata Punya Beberapa Bahaya

Ternyata, seseorang yang, bahkan, dilabeli sebagai monster karena tidak dapat menunjukan emosi yang tepat dan empati pada kemalangan orang lain mampu menunjukkan “rasa kasih”-nya. Hal ini menjadi tamparan keras bagi kita semua yang belum pandai dalam mengelola empati.

Seseorang yang tak dapat merasakan emosi seperti sosok Yoonjae saja mampu merespons dengan tepat kemalangan orang lain. Lalu, kita sebagai orang “normal”, kenapa tidak bisa? Atau jangan-jangan “nurani” kita yang sakit! Semoga tidak.

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)

Pramonoadi