Ahli Memprediksi Puncak Omicron Akan Lebih Cepat Melandai Dibanding Delta

By Siti Sarah Nurhayati, Sabtu, 26 Februari 2022 | 18:01 WIB
Virus corona varian omicron (dok. Kompas.com)

NOVA.id - Menghadapi pandemi COVID-19 selama dua tahun belakangan ini, para ahli kesehatan sudah lebih memahami pola-pola dan karakteristik penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2.

Meski kecepatan penularan varian Omicron lebih cepat dari Delta, namun ada harapan puncak Omicron juga akan lebih cepat melandai tanpa harus banyak pasien yang dirawat maupun menelan korban jiwa, melebihi gelombang Delta terdahulu.

“Tanpa bermaksud mensyukuri suatu musibah, Omicron ini kita ketahui bisa menyebar dengan cepat, tapi harapannya puncaknya nanti segera turun," kata dr. Tonang Dwi Ardiyanto Sp PK., PhD., Juru Bicara Satgas COVID-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS).

"Kita bersyukur walaupun angka penularannya cepat, namun angka perawatan pasien di rumah sakit masih signifikan di bawah gelombang Delta Juli 2021 lalu,” sambungnya.

Subvarian Omicron BA.1 menurut dr. Tonang memiliki karakteristik cepat berkembang di saluran pernapasan, tapi lambat berkembang di paru-paru.

“Inilah yang kita duga menjadi salah satu faktor gejala yang dialami pasien terinfeksi Omicron cenderung lebih ringan daripada varian Delta. Tapi kita patut khawatir dengan subvarian Omicron BA.2 yang kemampuan berkembang di paru-paru bisa mendekati kemampuan Delta,” jelas dr. Tonang.

Diakui oleh dr. Tonang, rata-rata derajat keparahan penyakit pada pasien terinfeksi Omicron ini memang lebih ringan daripada varian Delta tahun lalu. Tapi ia mewanti-wanti subvarian Omicron BA.2.

Namun begitu ia berharap dengan banyaknya yang mendapat kekebalan alami dari infeksi dan ditambah makin banyak yang divaksinasi, varian virus ini tidak akan berkembang lebih jauh lagi.

Baca Juga: Jaga Imunitas Tubuh di Tengah Naiknya Kasus Omicron dengan Minuman Sehat Ini

“Saya yang termasuk mempercayai apabila varian baru mendominasi maka pelan-pelan varian sebelumnya berkurang. Tapi sebenarnya kita tidak perlu terjebak dengan Omicron dan Delta. Karena semuanya sama-sama virus COVID-19."

"Hanya saja semua varian virus ini berisiko membuat pasiennya bergejala berat. Perkara Omicron atau bukan itu kepentingannya untuk epidemiologis, agar bisa memetakan dan melihat tren ke depan. Tapi bagi masyarakat, apa pun varian COVID-19 yang menginfeksinya, cara penanganannya sama,” ujar dr. Tonang.

Saat ini jumlah kasus dirawat di rumah sakit UNS sedikit mengalami peningkatan. Akan tetapi saat dibandingkan dengan gelombang Delta yang lalu, relatif lebih rendah.

Terbukti, kala gelombang Delta tahun lalu, pihaknya sampai mengalih fungsikan lebih dari separuh tempat tidur, hampir 70% disediakan untuk penanganan COVID-19. Tapi saat ini dengan kapasitas yang disiapkan sekitar 40%, masih ada beberapa tempat yang belum terisi. 

Selain saat ini mampu mempertahankan fasilitas pelayanan kesehatan, diketahui juga perbandingan kasus kematian periode Omicron dengan Delta juga berbeda secara signifikan.

Namun dr. Tonang menyarankan Kemenkes untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kasus kematian saat ini. Menurut pengamatan dr. Tonang, Di Jakarta apabila diambil rata-rata kasus mingguan maka puncaknya terjadi 10 Februari lalu, lalu diikuti penurunan angka kematian pada 20 Februari.

Apabila polanya seperti ini, maka angka kematian akan ikut turun atau melandai beberapa pekan setelah kasus konfirmasi harian menurun juga.

Masyarakat perlu mengetahui beberapa hal untuk menghadapi periode Omicron. Ini tidak berbeda jauh dengan cara-cara yang sudah dilakukan saat menghadapi gelombang Delta.

“Apabila timbul gejala, maka saat itu juga kita harus periksa (testing) PCR/Antigen. Saat hasilnya negatif, maka jangan langsung senang dahulu, tunggu dua hari lagi untuk memastikan kembali melalui tes PCR/Antigen apakah benar-benar negatif atau tidak. Apabila kontak erat, maka dilakukan tes PCR/Antigen pada awalnya (entry test)."

Baca Juga: Cegah Penularan Covid-19 ke Balita, Orangtua Wajib Lakukan Hal Ini!

 

"Baik hasilnya positif maupun negatif, kontak erat harus melakukan karantina 5 hari. Nanti di hari kelima kita ulang kembali tes kedua (exit test). Apabila hasil exit test negatif, maka karantina dianggap selesai,” jelas dr. Tonang.

Meski demikian, dr. Tonang berharap periode ini akan segera mencapai puncak dan segera turun, agar kita lebih tenang menyambut bulan Ramadan. 

"Jadi kita tidak terjebak lagi dengan polemik shalat tarawih maupun lebaran yang dua tahun ini jadi terganjal akibat COVID-19,” tutup dr. Tonang

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store. (*)