Untuk Menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan di Asia Tenggara, Ini Upaya Regional dalam Menerapkan Strategi yang Responsif Gender

By Widyastuti, Rabu, 6 April 2022 | 16:48 WIB
Pidato pembuka dan diskusi mengenai ekstremisme berbasis kekerasan dari para pembicara yang hadir dalam peluncuran laporan "Analisis Gender tentang Ekstremisme Kekerasan dan Dampak COVID-19 terhadap Perdamaian dan Keamanan di ASEAN". (Dok.UN Women)

NOVA.id - Negara-negara Asia Tenggara yang berupaya mencegah meningkatnya propaganda dan rekrutmen online oleh ekstremis kekerasan selama pandemi Covid-19, harus mempertimbangkan bagaimana upaya ini secara khusus menargetkan perempuan dan dampak berbeda terhadap perempuan dan laki-laki di kawasan, demikian dinyatakan dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) yang dirilis hari ini.

Laporan tersebut didasarkan pada survei dengan para ahli dan wawancara yang dilakukan antara Juli dan November 2021.

Studi ini menemukan bahwa kelompok-kelompok ekstremis telah mengeksploitasi pembatasan sosial dan himbauan tinggal di rumah selama pandemi untuk membuat lebih banyak orang di kawasan ASEAN terpapar pada pesan mereka di media sosial dan platform online lainnya.

Termasuk di dalamnya pandangan misoginis yang meningkatkan risiko perempuan mengalami kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.

UN Women dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia bersama menerbitkan laporan setebal 58 halaman bertajuk “Analisis Gender tentang Ekstremisme Kekerasan dan Dampak COVID-19 terhadap Perdamaian dan Keamanan di ASEAN: Temuan Utama dan Rekomendasi.

Laporan tersebut disusun oleh oleh Pusat Gender, Perdamaian dan Keamanan Monash di Monash University, Melbourne, Australia.

Di dalamnya direkomendasikan agar kebijakan nasional untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan di kawasan ASEAN:

1. Melakukan analisis gender untuk mencari penyebab radikalisasi: hal-hal yang mendorong laki-laki untuk bergabung dengan kelompok ekstremis mungkin tidak sama dengan perempuan.

2. Membedakan cara berbagai jenis kelompok ekstremis – etno-nasionalis, sayap kanan dan komunis – membangun norma gender yang memungkinkan atau membatasi partisipasi perempuan atau meningkatkan risiko kekerasan terhadap mereka.

Baca Juga: 33 Tahun Berumah Tangga, Hotman Paris Pilih Pisah Ranjang dengan Istri, Ada Apa?

3. Mengenali bahwa perempuan tidak selalu menjadi korban terorisme, tetapi juga pelaku, pendukung, pemberi pengaruh, dan peserta aktif.

4. Melibatkan perempuan dan kelompok masyarakat sipil yang telah berada dalam situasi berhadapan dengan ekstremisme berbasis kekerasan di komunitas mereka.