Nukila Evanty, Bantu Sesama Perempuan Keluar dari Jerat Stigma dan Kemiskinan

By Maria Ermilinda Hayon, Selasa, 21 Maret 2023 | 12:05 WIB
Nukila Evanty ()

NOVA.ID - Women support women, rasanya tak hanya slogan kosong bagi Nukila Evanty

Perempuan yang lahir di Bagansiapiapi, Riau ini sungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupannya.

Hingga kini, Nukila Evanty dikenal sebagai pegiat untuk kesetaraan gender dan advokasi untuk hak-hak kelompok minoritas, marjinal dan kelompok rentan.

Khususnya dalam memerangi berbagai permasalahan dan stigma yang masih menggerogoti kaum perempuan.

Dalam perbincangan khusus, Nukila menyebut masalah perempuan dewasa ini adalah masih berhadapan dengan kuatnya budaya patriarki.

Dalam budaya patriarki, sentral ada pada laki-laki, dan perempuan hanyalah subjek kedua.

Bahkan saking kuatnya budaya patriarki muncul sindrom misogini, di mana mereka membenci perempuan dan menganggap perempuan tidak boleh punya ambisi, tidak boleh punya sesuatu untuk dibanggakan serta harus laki-laki yang didahulukan.

“Banyak juga karena budaya tadi, peran perempuan jadi kurang. Perempuan kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan terbatas dalam akses pada Pendidikan. Padahal dengan pendidikan, orang bisa bekerja, dan bahkan punya hak suara,” jelas perempuan yang juga direktur eksekutif Women Working Group ini.

Sebagai aktivis yang berkeliling ke berbagai provinsi di Indonesia, terutama daerah-daerah yang merupakan kantong-kantong pekerja migran, Nukila menemukan bahwa banyak perempuan harus berjuang dengan hidupnya.

Baca Juga: Sebagai Aktivis, Ini Cara Ayushita untuk Mendukung Sesama Perempuan

Mereka dituntut untuk bekerja sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus urusan domestik, yakni mengurus suami dan anak.

Di saat ada tuntutan untuk mencari nafkah, di sisi lain masalah keterbatasan pendidikan membuat perempuan tidak mudah mendapatkan pekerjaan.

Akhirnya mereka terperangkap dalam sindikat, yakni menjadi pekerja migran tanpa prosedur atau illegal.

Diakui perempuan yang menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah ini, sindikat masih merajalela karena penegakan hukum yang belum cukup baik terkait perdagangan manusia.

Perlu kemauan besar terutama dari pemerintah, karena pemerintah merupakan stakeholder utama yang memiliki SDM dari pusat hingga daerah.

Memang, Indonesia memiliki aturan hukum yang lengkap, mulai dari Undang-undang Hak Asasi manusia (HAM) hingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sayangnya dalam pandangan Nukila, aturan yang bagus tanpa diikuti dengan eksekusi di lapangan, tak ada artinya.

Menurut Nukila, tidak ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Misalnya pemerintah harus tahu, mana daerah yang paling miskin karena biasanya dari kantong-kantong kemiskinan ini, banyak pekerja illegal yang muncul, karena sulitnya mendapat pekerjaan.

Baca Juga: Singapore Management University Dukung Perempuan Berdaya Ekonomi di Momen IWD 2023

"Pemerintah tidak bisa melakukan ini sendiri. Karena itu harus melibatkan masyarat sipil. Sayangnya selama ini masyarakat sipil selalu dianggap nomor dua. Padahal dengan Kerjasama dengan masyarakat sipil, maka bisa dilakukan pelatihan, monitoring hingga evaluasi,” jelas perempuan yang juga menyelesaikan studi Hukum di Universitas Groningen, Belanda.

Saat ini Nukila sedang fokus terutama pembebasan para pekerja migran yang masih terperangkap di Malaysia, hingga Hongkong.

“Jadi mereka ditahan dokumen sama majikan, jadi mereka enggak bisa pulang ke Indonesia. Jadi KBRI harus lakukan sesuatu untuk para pekerja migran ini. Mereka butuh bantuan kita,” tukasnya.

Untuk meminimalisir pekerja migran, perlu langkah-langkah khusus yang dilakukan pemerintah.

Seperti memberikan pelatihan sekaligus pemberian modal usaha agar para perempuan-perempuan ini bisa berdaya dan menghasilkan uang.

Jika mereka tetap dibiarkan dalam lingkaran kemiskinan, maka pilihan yang mudah yaitu menjadi pekerja migran, meski taruhannya adalah nyawa di negeri orang.

Karena melihat masalah-masalah seperti ini terjadi diberbagai kota, provinsi di Indonesia, bagi Nukila, penyelesaian terbaik adalah memberikan akses pendidikan yang layak pada setiap perempuan sehingga mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

“Kalau perempuan mendapatkan akses Pendidikan yang baik, maka dia akan mencetak generasi masa depan yang lebih baik. Atau bahasa saya, perempuan tersebut menjadi champion bagi anak-anaknya,” tutup Nukila. (*)