NOVA.ID – Pada 1-3 September 2023 yang lalu telah berlangsung ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum (ACSC/APF) di Universitas Atma Jaya Jakarta.
Tema yang diusung adalah “Reclaiming safe spaces, restoring democracy and equity in Southeast Asia!”
ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum adalah tempat bagi Organisasi Masyarakat Sipil di ASEAN dan sekitarnya.
Tujuannya untuk mengkonsolidasikan dan membangun solidaritas dalam isu-isu penting di kawasan ini.
Sebut saja hak asasi manusia, diskriminasi dan ketidaksetaraan, ketidakadilan, proses demokrasi, dan tata kelola pemerintah yang baik.
Dari beberapa kajian yang dilakukan Asia Centre, lembaga think tank dan riset regional yang memiliki kantor pusat di Bangkok, Thailand menyebutkan bahwa ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam berbagai isu yang terjadi di ASEAN semakin menyusut.
Bahkan hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan ini semakin memburuk.
Mengenai hal ini, Nukila Evanty, Perwakilan dan Penasehat dari Asia Centre dalam acara ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum (ACSC/APF) memberikan pandangannya.
Nukila ini hadir sebagai panelis bersama James Gomez, Regional Director Asia Centre; Marc Pinol Rovira; dan Ekmongkhon Puridej.
Saat pemaparan dengan tema Melindungi Ruang Sipil: Menolak Pemerintahan Otoriter Pasca Pandemi, Nukila menyebutkan ruang sipil adalah landasan berfungsinya demokrasi, hukum, kebijakan, dan kelembagaan.
Hal ini diperlukan oleh aktor non-pemerintah untuk mengakses informasi, mengekspresikan diri, berserikat, berorganisasi dan berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Baca Juga: Nukila Evanty, Bantu Sesama Perempuan Keluar dari Jerat Stigma dan Kemiskinan
Semua hal tersebut, dilandasi dalam kerangka hukum nasional dan internasional serta memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.
“Ketika ruang sipil dilindungi, hal ini akan memfasilitasi partisipasi publik, yang merupakan hak fundamental setiap orang. Hak tersebut terkait dengan kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat. Dengan hak tersebut, pemerintah dapat menyelaraskan kebijakan dengan lebih baik, yang disesuaikan dengan dengan kebutuhan masyarakat,” jelas Nukila.
“Tidak mungkinkan pemerintah mengawasi dan mengkritisi dirinya sendiri. Sehingga pemerintah seharusnya menyediakan ruang sipil yang sehat, baik daring maupun luring sehingga pekerjaan pemerintahan terkelola dan terlaksana dengan baik,” sambungnya.
Lembaga Economist Intelligence Unit, memberikan laporan Indeks Demokrasi tahun 2022 dengan indikator demokrasi skor pada skala 0 hingga 10 di 167 negara.
Ada lima indikator yakni proses pemilu dan pluralisme; berfungsinya pemerintahan; partisipasi politik, budaya politik demokratis; dan kebebasan sipil.
Menurut Nukila, skor Indonesia, untuk proses pemilu dan pluralisme (7,92); berfungsinya pemerintahan (7,86); partisipasi politik (7,22); budaya politik (4,38); dan kebebasan sipil (6,18).
Sehingga skor keseluruhan Indonesia menjadi 6,71. Skor ini tak berubah dari tahun sebelumnya.
Skor Malaysia lebih baik, yaitu naik dari 7,24 pada tahun 2021 menjadi 7,30 pada tahun 2022.
Lalu Timor Leste, negara yang baru bergabung dengan ASEAN, skornya mencapai 7,06.
Sedangkan Taiwan menduduki peringkat pertama di Asia dan peringkat 10 secara global di antara 167 negara dengan skor keseluruhan 8,99 dari 10.
Jepang peringkat ke-16, dan Korea Selatan ke-24. Negara-negara tersebut merupakan satu-satunya negara yang dianggap sebagai negara demokrasi penuh di Asia.
Baca Juga: Banyak Kisah Pilu, Nukila Evanty Dorong Advokasi Hak Narapidana Perempuan
Nukila menyebutkan ada delapan kerangka hukum utama yang berdampak pada ruang sipil.
Yakni Konstitusi (Undang-Undang Dasar); Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Undang-undang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berasosiasi; Undang-Undang yang berkaitan dengan informasi, komunikasi dan keamanan media; UU yang berkaitan dengan perlindungan pribadi dan data pribadi; Undang-Undang yang berkaitan dengan undang-undang anti korupsi, anti pencucian uang dan anti terorisme; dan peraturan daerah di kabupaten dan kabupaten
Dalam pandangan Nukila, ada tiga isu penting yang menyebabkan sempitnya kebebasan sipil.
Pertama: penyalahgunaan sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No 19 tahun 2016).
Pasal-pasal dalam UU ITE yang mendua sering diduga dijadikan dasar penahanan atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
“Pasal yang sebaiknya dicabut adalah pasal asusila, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian,” ungkap Nukila.
Kedua: UU Ibukota Negara Indonesia (UU IKN). UU IKN dibahas dalam waktu singkat. Pemerintah dan DPR RI tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat yang baik, bahkan kurangnya partisipasi masyarakat adat.
Ketiga: Fenomena Buzzer di Indonesia untuk meredam kritik terhadap pemerintah marak terjadi. Demokrasi pun terancam mati, apabila setiap kritik diredam.
“Umumnya buzzer menggunakan narasi yang bersifat defensif, dan seringkali menggunakan UU ITE untuk melawan pihak lawan politiknya,” terang Nukila.
Karena melihat makin menyempitnya ruang masyarakat sipil dalam berpendapat, Nukila menawarkan tiga rekomendasi.
1.Pemerintah di ASEAN harus memastikan bahwa kepentingan rakyat tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan, tidak sekedar simbolik semata.
2.Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi hak dan aktivitas masyarakat sipil.
3.Pemerintah perlu menjembatani kesenjangan digital dan mengatasi kesenjangan teknologi dan keterampilan antara populasi muda dan lanjut usia, kelompok pedesaan dan perkotaan, serta mereka yang berasal dari latar belakang sosio-ekonomi tinggi dan rendah.
“Sangat penting untuk memastikan akses yang setara terhadap informasi, sehingga maraknya hoax, misinformasi dan disinformasi dapat dikurangi,” pungkasnya. (*)