“Setelah dua tahun itu, kami sadar dengan post-consumer waste. Ternyata banyak sampah yang telah kami hasilkan dan itu dibuang. Jadinya, sekitar Agustus 2019 kami mencoba menjadikan bahan-bahan sisa itu sebagai produk baru dan bikin brand Foyya Studio. Hampir dibilang enggak ada modal,” jelas Faia.
Tapi, Faia tidak sendiri.
Sampah- sampah hasil produksi itu nantinya dibuatkan sebuah produk oleh penjahit-penjahit perempuan di sekitar Bekasi.
Sehingga, produk yang dihasilkan betul-betul handmade.
“Kalau kualitas ya, kami memang handmade, masih pakai tangan. Jadi, suka ada produk yang tidak sama dengan yang lainnya. Kami selalu bilang ke costumer. Misalnya, dia bisa saja dapat produk ikat rambut di edisi yang sama, tapi ukurannya berbeda,” jelas Faia.
Kolaborasi Konten Setelah membuat produk, Faia memulai dengan Instagram, Tokopedia, dan Shopee untuk menjual produknya.
Tak hanya itu, Faia mengaku secara mandiri sering mengirimkan email ke komunitas yang juga peduli sampah untuk melakukan kolaborasi.
“Biasanya kita juga kayak kasih edukasi tentang sampah dan lingkungan gitu. Terus, kita juga sering kolaborasi dengan praktisi sadar lingkungan untuk bikin konten bareng. Di situlah, jadinya Foyya semakin ada peningkatan penjualan,” jelasnya.
Setiap produk yang dijual Faia di Foyya Studio ini juga relatif terjangkau, pada tahun 2020 berkisar antara Rp17.500-Rp185.000.
Dengan harga segitu, Faia bisa mendapatkan rata-rata omzet sekitar Rp2 juta-Rp4 jutaan per bulan.
“Kalau dari Foyya Invites sendiri, itu omzet sudah lebih dari Rp5 juta ya (2020). Bergantung dengan berapa banyak yang pesan. Nah, biasanya ya, sisa-sisa bahan dari pesanan itu dijadikan bahan buat Foyya Studio,” jelasnya.
Wah, sangat menginspirasi ya kisah Faia menjadi Srikandi untuk Negeri dalam bidang lingkungan dan pemberdayaan perempuan. (*)