Maka cara yang tepat adalah dengan menampung emosi anak.
Saat terkena body shaming si anak pasti akan merasakan emosi negatif, seperti sedih, marah, kesal, atau malu.
Nah, orangtua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak harus bisa menampung emosi tersebut tanpa melakukan interupsi agar anak bisa merasa nyaman dan tenang.
Ketika emosi tidak nyamannya sudah keluar dan mereka merasa lebih tenang, barulah Anda bisa mengajak anak diskusi untuk menelusuri mengapa kira-kira ia di-body shaming dan bantu anak untuk mencari solusi untuk masalahnya tersebut.
Tapi ingat, membantu tidak sama dengan memberikan keputusan.
Biarkan anak terbiasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Selain itu, ajarkan pula pada anak untuk bersikap asertif (tegas mengontrol perilaku) ketika mendapat perlakuan buruk ini.
Ajarkan kepadanya untuk mengatakan kepada teman yang mem-bully-nya bahwa ia merasa terganggu dan tidak senang.
Selain itu, sebagai orangtua kita tak boleh ikut menyalahkan anak atau terkesan berusaha “memperbaiki” fisik si anak.
Misal, anak disuruh diet agar badannya tidak gendut, ada yang dilurusin rambutnya biar enggak keriting, dan ada juga yang memberikan pemutih kulit kepada sang anak agar kulitnya tidak lagi gelap.
“Saya, sih, tidak menyarankan, karena itu, kan, pada akhirnya hanya mengganggu body image si anak.
Hati-hati, lho! Self esteem seseorang itu bisa berhasil kalau memiliki rasa percaya diri yang signifikan.
Saya itu banyak menemukan anak yang pintar tapi enggak punya rasa percaya diri. Banyak, lho, anak yang cakep tapi minderan, bahkan anak yang kaya sekalipun bisa kacau rasa percaya dirinya,” kata Mira.
Self esteem itu juga terbentuk dari self image, bagaimana seseorang memandang dirinya. Nah, body image itu bagian dari self image dan harus dibentuk sedari kecil agar anak bisa menerima dirinya apa adanya.
“Ketika anak sudah bisa menerima keadaan dirinya sendiri, sangat besar kemungkinan anak tidak akan terganggu jika fisiknya diusik oleh teman-temannya,” tutup Mira. (*)