Pasang Surut Usaha Tenun Lurik Pedan

By nova.id, Rabu, 1 Oktober 2014 | 07:27 WIB
Pasang Surut Usaha Tenun Lurik Pedan (nova.id)

Pasang Surut Usaha Tenun Lurik Pedan (nova.id)

"Rachmad jadi saksi sejarah pasang surut Lurik Pedan dan hingga kini tetap bertahan. (Foto: Henry / NOVA) "

Riwayat tenun tradisional lurik di kota kecil Pedan, Kabupaten Klaten (Jawa Tengah) sudah berusia sangat panjang. Kain bermotif garis-garis itu, menurut R. Rachmad (82), perajin lurik dengan nama Sumber Sandang, sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Kediri. Berlanjut ke masa Mataram, Pajang, Yogyakarta, Surakarta, dan sampailah ke Pedan.

Pada tahun 1938, seorang pengusaha Pedan bernama Suhardi Hadi Sumarto menimba ilmu ke Textiel Inrichting Bandoeng (sekarang Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Red). "Pulang dari Bandung, Suhardi mempraktikkan ilmu membuat tenun lurik bersama saudara-saudaranya. Mereka membuat perusahaan keluarga. Usaha mereka berhasil, sehingga keluarga Suhardi kaya raya," kisah Rachmad.

Semula hanya keluarga Suhardi yang menjadi perajin lurik. Sampai akhirnya tahun 1948 terjadi Agresi Belanda yang mengakibatkan hampir semua warga Pedan mengungsi. "Nah, selama di pengungsian, karyawan Pak Suhardi membeberkan ilmu tenun kepada sesama pengungsi. Tahun 1950 ketika situasi normal, pengungsi kembali ke rumah masing-masing dan ikut-ikutan usaha tenun," lanjut Rachmad.

Ibarat cendawan di musim penghujan, banyak warga Pedan yang mendirikan usaha tenun dengan menggunakan ATBM itu, termasuk keluarga Rachmad. Ayah Rachmad bernama Atmo Prawiro terbilang pengusaha lurik yang sukses. Rachmad pun sanggup mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum UI. Sempat dijangkiti penyakit bosan kuliah, akhirnya ia berhenti sekolah.

Rahmad lalu kuliah lagi di Universitas Nasional, tapi tak sampai selesai. Namun, di masa inilah ia mulai mengembangkan usaha lurik ayahnya. Ia mencermati mode pakaian orang kota sekaligus mencari tahu bahan busana yang mereka kenakan. "Saya pulang ke Pedan dengan membawa bekal ilmu bahan benang yang bagus untuk tenun lurik," ujar Rachmad yang memutuskan untuk jadi pengusaha lurik.

Masa SenjakalaDalam kenangan Rachmad, tahun 50-an itu merupakan masa keemasan lurik. Ia menyebut kemakmuran masyarakat Pedan merata. "Di masa kejayaan lurik, ada sekitar 500 pengusaha dengan sekitar 60 ribu orang di seluruh Kabupaten Klaten yang berpusat di Pedan. Pemasaran lurik sampai ke seluruh Indonesia. Bikin lurik apa saja laku keras. Saya mengalami untung besar sampai 120 persen," papar Rachmad.

Menurut Rachmad, keberhasilan para pengusaha tak lepas dari campur tangan negara yang berpedoman berdikari, juga di bidang sandang. "Tidak bergantung dengan luar. Bahkan, di seluruh Indonesia ada koperasi tenun. Pemerintah juga berupaya agar harga bahan tidak dipermainkan tengkulak. Salah satu caranya orang tak boleh impor bahan seenaknya."

Akan tetapi situasi berubah di masa Orde Baru ketika pemerintah mengizinkan Penanaman Modal Asing. Industri tekstil bermodal besar muncul. Dengan wajah sedih Racmad mengatakan, "Tahun 1973, mulailah usaha rakyat mengalami masa senjakala. Benteng-benteng koperasi jebol. Industri kecil tradisional tergilas modal besar. Usaha lurik seperti hidup segan, mati tak mau. Waktu itu mesin tekstil menyerbu Indonesia."

Di antara sekian banyak pengusaha yang tumbang, Rachmad masih bertahan. Ia berupaya terus berinovasi agar lurik kembali terangkat. "Saya sempat ke Bali tahun 80-an untuk menjajakan contoh barang. Saat itu, saya bertemu orang Jerman yang langsung pesan dalam jumlah besar. Saya masih ingat, harga per meter Rp5.000."

Dikisahkan Rachmad, lurik sempat kembali terangkat di tahun 80-an. Ketika itu, gubernur Jawa Tengah Ismail mewajibkan pegawai negeri mengenakan lurik. "Ada angin baru bagi UKM," ujar Rachmad yang terus berupaya mengembangkan motif. "Pada intinya, lurik itu motif kain dengan garis-garis kecil dengan 2-5 warna. Ada beberapa motif lurik, yang penciptanya tidak diketahui. Misalnya saja motif ketan ireng, ketan salak, kijing miring, sodo sak ler, kembang bayem, kembang sembukan, rinding putung, dom kecer (hujan gerimis), tumbar pecah."

Perjalanan lurik tradisional kembali mengalami masa surut ketika muncul usaha pabrik yang membuat lurik murah dengan teknik cap. UKM ambruk lagi. "Sampai sekarang, saya mencoba untuk terus bertahan. Yang membahagiakan, anak saya sekarang ikut meneruskan usaha, bahkan terus berupaya mengembangkannya," pungkas Rachmad.

Henry Ismono