Bayi Rakus

By nova.id, Sabtu, 9 April 2011 | 17:03 WIB
Bayi Rakus (nova.id)

Tak heran si kecil jadi rakus. Habis, tiap kali rewel, dijejali susu. Tapi tak perlu direm, asal seimbang dengan aktivitasnya.

Buat kita yang punya anak susah makan, pasti terheran-heran melihat porsi dan frekuensi makan si "rakus". Padahal, sebetulnya wajar aja, kok, kalau ada bayi "rakus". Terlebih jika si bayi berjenis kelamin laki-laki. Soalnya, kata dr. Rini Sekartini, SpA. dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, bayi lelaki lebih "rakus" dibanding bayi perempuan. "Secara alamiah, tubuh anak lelaki menyerap makanan lebih banyak dan aktivitasnya pun lebih banyak, hingga mereka mudah lapar," terangnya.

Yang jelas, Bu-Pak, tiap anak itu unik. Artinya, masing-masing anak berbeda satu sama lain. Termasuk pola makan dan kebutuhannya akan makanan, juga amat individual, tergantung kebutuhan masing-masing. Sebagai orang tua, kitalah yang tahu persis apa saja yang disukai dan dibutuhkan si kecil, bagaimana kebiasaan makannya, dan seberapa besar kecukupan porsinya, serta frekuensi pemberiannya.

TAK PERLU DIJADWAL

Secara fisiologis, terang Rini, makan merupakan kegiatan alamiah seperti halnya tidur. Umumnya, lambung bayi baru akan kosong dan minta diisi kembali setelah 2-3 jam berselang. Inilah yang kemudian dijadikan patokan untuk membuat jadwal penyusuan bayi; setiap 3 jam untuk bayi dengan BB normal dan 2 jam sekali untuk bayi yang BB-nya rendah. Tak heran jika banyak orang tua yang juga mengikuti jadwal tersebut. Padahal, terang Rini, pengaturan jam menyusui ini cuma patokan kasar dan lebih diperuntukkan bagi bayi-bayi yang dirawat karena sakit atau butuh perhatian khusus guna menghitung asupan kalorinya: apakah memadai atau tidak.

Jadi, tegas Rini, "enggak usahlah kelewat kaku diatur pakai jam segala. Bayi lagi pulas tidur dibangunin hanya karena sudah jam menyusu." Yang terbaik, lanjut alumnus FKUI ini, "memberi makan bayi itu ASI on demand atau ASI diberikan kapan pun bayi menghendakinya." Toh, makan merupakan kegiatan alamiah. Jika lapar, si kecil pasti memberi tanda semisal menangis, sekalipun baru 1 jam sebelumnya ia sudah menyusu.

Bukan berarti tiap kali si kecil menangis menandakan ia lapar, lo. Ini yang kerap disalahartikan kebanyakan orang tua. Hingga, tiap kali bayinya menangis, langsung dijejalkan puting payudara si ibu atau botol susu. "Seharusnya orang tua mencermati dulu, apa sebab bayinya menangis." Benarkah karena lapar atau si kecil merasa tak nyaman lantaran kedinginan, popoknya basah, digigit nyamuk, atau hanya sekadar ingin dibelai, diajak mengobrol, dan lainnya.

Soalnya, terang Rini, kebiasaan ngek-jel (begitu merengek langsung dijejalkan) membuat pola makan si kecil jadi salah kaprah. Perlu diketahui, pusat lapar dan haus secara alamiah dikendalikan oleh pembiasaan karena bayi masih konsumer pasif. Nah, bila dibiasakan sebentar-sebentar makan/minum, si kecil tak lagi bisa membedakan kapan rasa haus/lapar itu muncul. Hingga, kebutuhannya akan makanan ­baik ASI maupun PASI (pengganti ASI)- makin lama makin tinggi, yang akhirnya terciptalah bayi "rakus". Bukankah dengan makin sering menyusu, makin meningkat pula kebutuhannya untuk menyusu dan menyusu lagi? Jadi, secara fisiologis, lambungnya makin gampang lapar mengingat pusat laparnya disetel lebih cepat dari standar bayi lain seusianya. Hati-hati, lo, jika hal ini dibiasakan terus sampai si kecil lepas usia bayi, bisa terbawa sampai dewasa.

PERBANYAK AKTIVITAS

Tentunya, jika si kecil amat "rakus", lama-lama tubuhnya bisa "membengkak". Namun tak usah khawatir ia bakal mengalami obesitas (kegemukan) jika BB-nya sesuai dengan TB-nya, karena hal ini berarti, "semua energi yang masuk terpakai untuk aktivitasnya," jelas Rini. Apalagi jika BB dan TB-nya tak melampaui batas grafik yang tertera di KMS (Kartu Menuju Sehat)-nya, tak ada alasan untuk kita kelewat cemas.

Yang perlu diperhatikan, aktivitas si kecil. Jika aktivitasnya sedikit sementara makannya amat gembul, kita perlu hati-hati. Soalnya, energi yang tak terpakai akan disimpan menjadi lemak dalam tubuh. Makin banyak energi yang tak terpakai, makin banyak pula lemak yang akan menumpuk. Nah, tumpukan lemak inilah yang akhirnya membikin si kecil kegemukan. Jika hal ini terus berlangsung, kelak si kecil bisa mengalami aneka penyakit yang kerap mengiringi obesitas, seperti gangguan kolesterol dan pembuluh darah. Jadi, sebelum kebablasan, bukankah jauh lebih baik bila kita memberinya banyak stimulus agar ia tak pasif?

Saran Rini, kita tak usah kelewat khawatir si kecil bakal terjatuh lantaran banyak beraktivitas. "Justru kalau digendong terus, anak jadi malas bergerak karena sudah keenakan." Sebaiknya, begitu si kecil sudah bisa duduk, biarkan ia bebas bergerak di kasur tipis di lantai. Kita cukup menjaga dan mengawasinya. Dengan begitu, asupan energinya terpakai optimal. "Wawasannya juga berkembang lewat berbagai pengalaman selama ia beraktivitas." Selain itu, anak yang aktif biasanya memiliki pola makan yang baik. Karena begitu asupan energinya habis terpakai, ia akan "minta" makan lagi dan cepat menghabiskannya. Dengan demikian acara makan tak lagi menjadi "siksaan" buat si kecil sementara orang tua pun ikut diuntungkan karena tak perlu repot-repot lagi menggendong atau membujuk-bujuk anak hanya untuk makan.