Saya sangat sedih, Bu, namun apa pun namanya, saya percaya Allah sayang kepada hamba-Nya. Saya mohon Ibu dapat berbagi nasihat bagaimana saya harus bersikap. Terima kasih Bu Rieny.
S - somewhere
Ibu S yang Cantik,
Memang, hidup ini kadang seperti misteri, ya. Karier suami bagus, istri sukses dan cantik serta solehah seperti Anda, anak-anak pandai dan sehat, kok ya masih mencari masalah dengan mengembangkan kebiasaan buruk seperti itu.
Bila kita jejerkan, kehidupan malam, narkotika, main perempuan hingga membuahkan anak, dan judi, benang merahnya adalah kepribadian yang tidak matang (immature). Ketika sosok seperti ini terekspos dengan kemudahan mengakses semuanya, karena profesi yang membuatnya bisa masuk kapan saja ke dalam kancah tersebut, maka ia yang sebenarnya menjadi tumpuan masyarakat untuk memberi rasa aman, malah ikut terjerumus ke dalamnya.
Akan tetapi, sebenarnya kita tetap harus mengembalikan ini kepada individunya sendiri Ibu S, karena teman seprofesi suami, pastinya lebih banyak yang tetap oke-oke saja walau berada dalam situasi kerja yang sama, bukan?
Berbeda dengan mereka yang punya kepribadian psikopat atau malah yang sosiopat, dimana mereka benar-benar tidak hirau akan masalah tanggung jawab, hanya mau nyaman sendiri, maka mereka yang lemah dan tidak matang kepribadiannya biasanya masih punya sisi-sisi positif dalam hidupnya. Tengoklah suami Anda, ia ayah yang baik, kata Anda, mau menyerahkan penghasilan untuk dikelola istri, dan yang paling harus disyukuri, masih bisa menjalankan fungsi di pekerjaannya. Bukankah ini merupakan tanda-tanda positif sekaligus peluang untuk memperbaiki sisi buruknya? Jadi, baik sekali kalau Anda tetap mempertahankan ketangguhan Anda untuk meneruskan bahtera perkawinan Anda.
Judi, bagi suami Anda sebenarnya sudah bukan kebiasaan buruk lagi, Bu, melainkan sudah menjadi candu atau adiksi. Membedakannya sangat mudah. Menghentikan kebiasaan buruk, relatif lebih mudah, karena dengan membantunya mengembangkan kebiasaan yang lebih positif dan terus menerus memantapkannya, kebiasaan buruk akan tersingkir dengan sendirinya.
Sementara untuk suami, ia akan merasa bahwa untuk tetap mempertahankan kegairahan hidupnya, ia harus melakukan perilaku tadi (judi), walau ia tahu dan sadar bahwa perilaku yang ia jadikan sarana kelangsungan hidupnya adalah perilaku yang justru menghancurkan hidupnya. Jadi, ketika perilaku yang menjadi syarat bagi kelangsungan hidup sebenarnya adalah perilaku yang justru menghancurkan hidup, itulah yang disebut kecanduan.
Maka, jangan heran bila ada orang yang sudah habis-habisan merehabilitasi diri dari ketergantungan narkotika, kembali lagi jadi pemakai, karena saat ia tak memakai, ia merasa "tidak hidup." Begitu pun penjudi. Bedanya dengan pemakai narkoba, nikmat judi itu datang dari perasaan bergairah ketika mempertaruhkan sesuatu yang penuh ketidakpastian, sembari membayangkan untung besar yang diperoleh secara instan. Dan, ini seperti gelombang laut, Bu, tak henti-hentinya bergejolak di dalam diri.
Nah, untuk menyembuhkan para pecandu, memang dibutuhkan lebih banyak hal. Agama, saya setuju, adalah sesuatu yang mutlak harus terus dikedepankan dalam hidup, agar muncul rasa takut dan malu pada Tuhan. Buatlah ini menjadi sesuatu yang bukan sekedar ritual saja, tetapi ajak suami untuk mendalami maknanya. Bukankah punya pijakan agama adalah posisi terhormat? Karena, kita amat sangat bebas menemui-Nya kapan saja, di mana saja, karena Dia lebih dekat dari urat leher kita?
Saya tidak anti umroh atau haji, akan tetapi (mudah-mudahan Ibu sepakat dengan saya) ada sebuah tren sekarang ini, kalau sedang merasa banyak masalah, umrah saja. Padahal, menurut hemat saya, jawaban atau solusi selalu ada di diri kita, doa adalah pertanda kepasrahan dan keihklasan yang dilandasi keyakinan bahwa hasil akhir dari upaya kita adalah milik Allah semata. Maka, bila doa, upaya mencari solusi yang smart, dan kesediaan untuk ikhlas berlangsung dalam harmoni yang sesuai garis-garis ketentuan Allah, pastilah kita akan tetap tegak menjalani hidup, insya Allah dalam berkah juga.