Bu Rieny Yth.,
Ketika menulis surat ini, saya baru saja menangisi kegagalan sebagai istri menjaga suami agar tidak terperosok dalam kelamnya judi. Kami telah menikah selama 14 tahun dengan 2 putra. Usia saya 40 tahun dan suami 46 tahun.
Biduk rumah tangga dilalui dengan berbagai cobaan. Di tahun kelima, hati saya luluh lantak karena seorang wanita mengandung bayi suami, (hingga detik ini tidak pernah mau diakuinya). Saya percaya kehidupan malam dan narkotika yang sudah memperdayai suami. Seiring waktu berjalan, saya mampu menata hati dengan doa dan kasih sayang-Nya, juga komitmen suami terhadap perkawinan kami.
Pada kesempatan lain, suami terlilit hutang ratusan juta rupiah akibat berjudi. Kami harus berhutang ke bank dan harta benda ludes. Dia berjanji tidak akan mengulanginya. Kenyataannya sudah dua kali suami mengulangi meskipun sembunyi-sembunyi.
Harus saya akui, dia sangat baik dan perhatian, tidak pelit dan kasar juga hampir tidak pernah marah. Saya mencoba membangun keluarga sakinah dan secara perlahan menghilangkan kebiasaan buruknya. Sedari awal saya mencoba menempatkan diri sebagai istri, untuk mengharapkan ridho-Nya.
Ibu, saya tidak pernah mempersoalkan masalah keuangan karena pendapatan kami berdua lebih dari cukup. Dalam hal pekerjaan pun suami sangat mendukung. Karena itu, saya berharap kualitas akhlak kami akan semakin membaik. Alhamdullilah, beberapa tahun terakhir, suami sudah salat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Saya sering curhat ke suami, yang saya inginkan hanyalah hidup bersama suami sesuai tuntutan agama serta membangun akhlak dan masa depan anak-anak dengan baik dan cukup. Alhamdullilah, Bu, dengan kendali pengaturan keuangan keluarga di tangan saya, saat ini kami telah memiliki dan mempersiapkan beberapa investasi yang insyaallah buat persiapan pendidikan anak-anak.
Saya juga tengah merencanakan untuk melaksanakan rukun Islam ke-5, naik haji, didampingi suami yang telah menyatakan bersedia. Bahagia rasanya membayangkan menjadi tamu Allah bersama suami tercinta. Dengan menjadi haji, mudah-mudahan kebiasaan judinya hilang ya, Bu?
Namun, beberapa hari lalu, saya mendapati suami main judi lagi, meski uangnya pas-pasan. Malah ia berencana menggadaikan kendaraan. Dari HP-nya saya tahu suami sering diajak teman-temannya. Pekerjaannya (tolong dirahasiakan ya, Bu) memang membuat jam kerjanya tak jelas. Bisa 3 kali 24 jam kalau sedang genting, bisa hanya sampai jam 15.00, bahkan malam saja. Dan, pekerjaannya membuat leluasa masuk ke tempat maksiat, hiburan malam, judi, dll. Bagaimana kalau mereka berempat dan hanya suami saya yang eling? Bukankah sangat mudah bagi tiga lainnya untuk membujuk rayu suami?
Ibu Rieny, saya merasa diabaikan dan tidak dihargai, berkali-kali telepon saya tidak diangkatnya karena terlampau asyik dengan kartu. Bagaimana mungkin saya dapat bersikap santun secara ikhlas sebagai istri dengan perilakunya? Antara perbuatan dan hati kan tidak bisa dibohongi ya, Bu?
Saya masih memberi kesempatan suami untuk bertobat, dengan ultimatum bila terulang lagi, saya katakan ingin cerai. Saya tahu dalam agama ini tidak dianjurkan, namun batin saya lelah. Segala upaya telah dilakukan, lembut maupun kasar agar suami kapok. Mungkin Allah merindukan doa dan air mata saya yang masih kurang ya, Bu? Emosi saya sangat terpancing begitu melihat kenyataan suami masih "doyan judi."
Bagaimanalah cara saya membantunya menghilangkan kebiasaan buruk ini? Selalu saya katakan pada suami untuk bersyukur karena banyak rezeki yang telah Allah limpahkan. Saya ingin harta yang kami cari dan kami miliki semua atas ridho-Nya, tidak dicampur dengan harta yang kotor.
Saya sangat sedih, Bu, namun apa pun namanya, saya percaya Allah sayang kepada hamba-Nya. Saya mohon Ibu dapat berbagi nasihat bagaimana saya harus bersikap. Terima kasih Bu Rieny.
S - somewhere
Ibu S yang Cantik,
Memang, hidup ini kadang seperti misteri, ya. Karier suami bagus, istri sukses dan cantik serta solehah seperti Anda, anak-anak pandai dan sehat, kok ya masih mencari masalah dengan mengembangkan kebiasaan buruk seperti itu.
Bila kita jejerkan, kehidupan malam, narkotika, main perempuan hingga membuahkan anak, dan judi, benang merahnya adalah kepribadian yang tidak matang (immature). Ketika sosok seperti ini terekspos dengan kemudahan mengakses semuanya, karena profesi yang membuatnya bisa masuk kapan saja ke dalam kancah tersebut, maka ia yang sebenarnya menjadi tumpuan masyarakat untuk memberi rasa aman, malah ikut terjerumus ke dalamnya.
Akan tetapi, sebenarnya kita tetap harus mengembalikan ini kepada individunya sendiri Ibu S, karena teman seprofesi suami, pastinya lebih banyak yang tetap oke-oke saja walau berada dalam situasi kerja yang sama, bukan?
Berbeda dengan mereka yang punya kepribadian psikopat atau malah yang sosiopat, dimana mereka benar-benar tidak hirau akan masalah tanggung jawab, hanya mau nyaman sendiri, maka mereka yang lemah dan tidak matang kepribadiannya biasanya masih punya sisi-sisi positif dalam hidupnya. Tengoklah suami Anda, ia ayah yang baik, kata Anda, mau menyerahkan penghasilan untuk dikelola istri, dan yang paling harus disyukuri, masih bisa menjalankan fungsi di pekerjaannya. Bukankah ini merupakan tanda-tanda positif sekaligus peluang untuk memperbaiki sisi buruknya? Jadi, baik sekali kalau Anda tetap mempertahankan ketangguhan Anda untuk meneruskan bahtera perkawinan Anda.
Judi, bagi suami Anda sebenarnya sudah bukan kebiasaan buruk lagi, Bu, melainkan sudah menjadi candu atau adiksi. Membedakannya sangat mudah. Menghentikan kebiasaan buruk, relatif lebih mudah, karena dengan membantunya mengembangkan kebiasaan yang lebih positif dan terus menerus memantapkannya, kebiasaan buruk akan tersingkir dengan sendirinya.
Sementara untuk suami, ia akan merasa bahwa untuk tetap mempertahankan kegairahan hidupnya, ia harus melakukan perilaku tadi (judi), walau ia tahu dan sadar bahwa perilaku yang ia jadikan sarana kelangsungan hidupnya adalah perilaku yang justru menghancurkan hidupnya. Jadi, ketika perilaku yang menjadi syarat bagi kelangsungan hidup sebenarnya adalah perilaku yang justru menghancurkan hidup, itulah yang disebut kecanduan.
Maka, jangan heran bila ada orang yang sudah habis-habisan merehabilitasi diri dari ketergantungan narkotika, kembali lagi jadi pemakai, karena saat ia tak memakai, ia merasa "tidak hidup." Begitu pun penjudi. Bedanya dengan pemakai narkoba, nikmat judi itu datang dari perasaan bergairah ketika mempertaruhkan sesuatu yang penuh ketidakpastian, sembari membayangkan untung besar yang diperoleh secara instan. Dan, ini seperti gelombang laut, Bu, tak henti-hentinya bergejolak di dalam diri.
Nah, untuk menyembuhkan para pecandu, memang dibutuhkan lebih banyak hal. Agama, saya setuju, adalah sesuatu yang mutlak harus terus dikedepankan dalam hidup, agar muncul rasa takut dan malu pada Tuhan. Buatlah ini menjadi sesuatu yang bukan sekedar ritual saja, tetapi ajak suami untuk mendalami maknanya. Bukankah punya pijakan agama adalah posisi terhormat? Karena, kita amat sangat bebas menemui-Nya kapan saja, di mana saja, karena Dia lebih dekat dari urat leher kita?
Saya tidak anti umroh atau haji, akan tetapi (mudah-mudahan Ibu sepakat dengan saya) ada sebuah tren sekarang ini, kalau sedang merasa banyak masalah, umrah saja. Padahal, menurut hemat saya, jawaban atau solusi selalu ada di diri kita, doa adalah pertanda kepasrahan dan keihklasan yang dilandasi keyakinan bahwa hasil akhir dari upaya kita adalah milik Allah semata. Maka, bila doa, upaya mencari solusi yang smart, dan kesediaan untuk ikhlas berlangsung dalam harmoni yang sesuai garis-garis ketentuan Allah, pastilah kita akan tetap tegak menjalani hidup, insya Allah dalam berkah juga.
Selain masalah terselesaikan, biasanya mereka yang memperoleh hidayah Allah pasti akan punya dahaga lebih besar untuk taat pada-Nya. Lihat sekeliling Anda, Bu, kemudahan umrah, bahkan haji, membuat seseorang lebih islami atau tidak? Bila setelah menanggalkan pakaian haji atau umrah, dia kembali ke pola hidup seperti sediakala, hemat saya, yang dilakukan hanya ziarah rohani saja. Bukan hal buruk sekali lagi, tetapi mudah-mudahan Anda bisa lebih realistis melihat masalah suami. Mohon maaf, artinya, jangan punya sebuah keyakinan bahwa dengan berhaji, kebiasaan judi akan hilang ya, Bu?
Long way to go, Bu. Jalan masih panjang lagi, tapi selalu bisa ditempuh bila Anda punya cinta dan kasih sayang untuk membantu dan mendampinginya. Setelah lebih mantap beragama, sibukkan dengan aktivitas berdua maupun bersama anak, yang membuat peluangnya untuk berjudi jadi berkurang. Sembari, ini yang susah, jadikanlah diri Anda sumber rasa nyaman bagi suami. Artinya, jangan bermuka masam bila dia pulang, dalam hati bolehlah mengatakan, "Brengsek kamu, judi lagi!" tapi senyum, buatkan minum hangat, dan jangan diberondong kata-kata tajam yang sudah di ujung lidah untuk dikeluarkan. Sabaaar, kalau kata orang-orang tua.
Pelajari lagi, kok bisa Anda kecolongan, apakah karena ia merubah jadwal kerja? Nah, di titik ini, dekati istri atasan Anda, minta bantuan agar bisa memengaruhi suaminya, untuk memasangkan teman seregu yang lebih dewasa dan punya kelakuan baik. Lalu, ajak anak-anak untuk membantu ayahnya juga lebih betah dirumah. Karena terkait dengan pemakaian uang yang kurang bertanggung jawab, lindungi aset keluarga dengan ekstra ketat. Artinya, tutup semua kemungkinan ia menggadaikan rumah, mobil, toko, ataupun pinjaman dari Koperasi.
Dalam keseharian, jangan bosan untuk terus mengajaknya lebih tekun beribadah dan mengedepankan fungsi keimamannya. Ceritakan doa harian Anda pada suami, atau kalau ia tiba malam hari, ceritakan doa malam Anda dan harapan Anda. Sambil meminta pada Allah, mudah-mudahan saat Anda sedang bicara dengan hati tulus itu, doa Anda di-ijabah.
Bila rumah beserta isinya selalu Anda usahakan tetap merupakan tempat pulang yang nyaman bagi suami, usaha keras agar ia makin takut pada Allah dan Anda juga terhubung dengan atasan suami, untuk mengawasi agar tidak satu grup dengan mereka yang tercela perilakunya, insya Allah kepribadiannya akan makin matang dan stabil. Jangan berhenti berusaha ya, Bu? Perkawinan selalu berharga kok untuk dipertahankan, maka tingkatkan terus kualitas hubungan Anda dengan suami, sehingga hubungan Anda berdua juga akan makin baik nantinya. Salam hangat.
Ia tahu dan sadar bahwa perilaku yang ia jadikan sarana kelangsungan hidupnya adalah perilaku yang justru menghancurkan hidupnya, itulah yang disebut kecanduan.