C Sayang,Pertanyaan di akhir surat, yang paling kompeten menjawabnya adalah Anda sendiri, Bu Guru, bukan saya. Akan tetapi, kesiapan Anda untuk mengambil keputusan, bisa kita bahas di sini. Menilik surat Anda, tampaknya ada dua masalah yang kini menerpa Anda. Di rumah, Anda sedang merasa tidak nyaman karena setelah Anda merasa demikian patuhnya pada orang tua, sehingga "terdampar" hanya menjadi guru kampung (istilah Anda), kini malah Anda yang kenyang disindir-sindir Ibu yang seperti juragan angkot, ya?
Bagaimana tidak? Kalau cinta dan penghargaan pada anak tergantung setoran, kan seperti juragan angkot jadinya. Dan kalau Anda tanya pada saya, apakah ada yang serupa dengan ibu Anda? Banyaaak, Neng!
Terlalu panjang kalau kita bahas di sini mengapa-nya. Lagipula, bisa amat berbeda dari satu ibu ke ibu yang lain. Hemat saya yang lebih penting adalah justru mengingat bahwa ini adalah contoh buruk yang harus Anda hindari bila kelak Anda jadi ibu.
Buang jauh-jauh kebiasaan melihat segala sesuatu dari sisi materi saja. Uang memang bisa membuat kita melakukan banyak hal, Jeng, akan tetapi kalau untuk melakukan banyak hal kita harus terpaku pada uang, wah ... dimensi hidup yang begitu kaya dengan peluang untuk bereksplorasi pasti akan menyempit, hanya kepada hal yang mendatangkan uang saja.
Ada seorang pakar pengembangan diri yang pernah mengajar saya dan mengatakan bahwa dalam dunia kerja kita selalu mengenal tiga tipe pekerja. Yang pertama yang bekerja sekedar menggugurkan kewajiban saja. Cirinya, tak mau tahu kesusahan orang lain, datang selambat mungkin tetapi pulang tepat waktu. Teng and Go, artinya jam 17.00 teng, langsung go home. Menyebalkan, karena dia biasanya tidak tahu bahwa ia adalah beban untuk tempat kerjanya.
Golongan kedua sudah lebih canggih. Ia mau tahu apa yang menjadi tanggung jawabnya, mau bekerja lebih dari itu, asalkan ada bayarannya. Hobinya kasak-kusuk mencari pekerjaan tambahan yang ada honornya. Ini lebih menyebalkan dari golongan pertama, karena bila diingatkan, ia akan lebih galak dan mengatakan: "Kenapa munafik, sih? Siapa orang yang tak butuh uang di dunia ini?"
Agar terhindar dari tuntutan kerja yang membuat ia harus bercapek-capek, ia tak segan untuk mengatakan bahwa ia tak bisa, ilmunya tidak sampai, atau sudah tak bisa belajar lagi karena sudah tua (padahal, pensiunnya masih 15 tahun lagi. Lamaaa, kan?) Kebutuhan untuk mengembangkan diri sudah terbang entah ke mana, tetapi kakinya kokoh mengangkangi posisinya, agar tak bisa diganti orang lain. Ini disebut tukang, karena ilmunya sebetulnya lumayan adanya.
Golongan ketiga adalah para profesional. Mereka tidak mau bekerja tanpa dibayar, karena memang punya keahlian yang juga diakui oleh perusahaannya. Akan tetapi, dalam bekerja ia selalu berusaha memberikan yang terbaik, bersikap proaktif dan penuh insiatif dalam menuntaskan pekerjaan. Ia senang menjalin jejaring kerja (networking) agar pekerjaan bisa lebih cepat diselesaikan. Dan uang bukanlah hal yang selalu ia pertanyakan, karena dengan unjuk kerja yang baik yang ia tampilkan, pastilah perusahaan akan memberinya imbalan dengan patut.
Ia sadar bahwa orang harus lebih dahulu berkeringat sebelum mengharap imbalan. Nah, mereka yang bekerja sendiri, wirausaha, ataupun yang punya usaha sendiri, termasuk bisnis pendidikan seperti yang kelak akan Anda lakukan dengan TK Anda, tentunya harus berada di golongan ketiga, bukan? Agar benar-benar punya semangat menjalankan usaha, punya entrepreneurship bahasa kerennya, semua ini masih harus ditambah dengan keyakinan bahwa kemandirian yang dimiliki memang harus dibayar dengan kesediaan kerja keras, karena kalau tak kerja, siapa yang mau membayar?
Saya menduga, bila kelak Anda jadi Kepala TK, perubahan paradigma berpikir dari tadinya orang gajian, sebagai guru yang terima gaji bulanan, menjadi orang yang harus bertanggung jawab menjalankan TK agar uang datang, akan menjadi bagian terberat dari perubahan hidup yang kelak Anda jalani. Masalah teknis pendidikan pasti mudah Anda kuasai, karena pada dasarnya IQ Anda kan tinggi.
Butuh tekad kuat dan mimpi yang menginspirasi Anda untuk terus bersemangat memacu diri agar berhasil. Nah, ini sesuai banget kan untuk masuk ke masalah kedua Anda? Jangan pernah jadikan uang sebagai ukuran utama kepuasan kerja, apalagi tolok ukur keberhasilan dalam hidup. Berupaya, kerja keras, bercita-cita tinggi, tetap jujur dan terpercaya, pastilah uang akan datang.