"Pada hari biasa, kita bisa berbincang. Tapi, kalau Sabtu-Minggu atau hari libur, tak mungkin bisa leluasa ngobrol, suasana jadi penuh sesak. Banyak sekali pengunjung yang datang. Hampir semua lapak dan kios laris dicari orang," ujar Udin (59), salah satu pedagang asal Banjarmasin.
Menurut Udin, begitulah suasana mal yang diberi nama JGC. Inilah mal yang disebut Udin sebagai pasar batu mulia terbesar di Jakarta.
"Bahkan, mungkin terbesar di Indonesia. Bayangkan saja, di sini ada lebih dari 1.000 pedagang batu mulia. Selain itu, untuk urusan batu mulia, ibarat dari hulu sampai hilir ada di sini," papar pria yang juga salah satu pengurus organisasi pedagang ini.
Dikatakan Udin, di sana memang ada semacam "pembagian tugas". Ada pedagang batu mulia, ada yang khusus jualan wadah batu itu, ada spesialis memotong bebatuan, sampai yang khusus tukang gosok agar batu tampil kemilau. "Itu masih ditambah lagi pedagang luar yang mencari batu mulia di sini, untuk dijual lagi di luar. Jumlahnya bisa dua kali lipat pedagang JGC," lanjutnya.
Kesukaan masyarakat pada batu mulia, menurut Udin, semakin meningkat dari tahun ke tahun. "Sekarang, laki-laki dan perempuan penggemar batu mulia sudah fifty-fifty. Banyak, kan, batu mulia yang dipakai untuk perhiasan. Bahkan, sudah banyak lo remaja yang suka."
Rezeki Ledakan JGC Rawa Bening dengan luas bangunan 10.866 meter pesegi itu terbagi atas tiga lantai dan satu semi basement. Diresmikan pengunaannya Mei 2010 oleh Fauzi Bowo, Gubernur DKI masa itu. JGC mampu menampung seribu lebih pedagang.
"Tapi, dari tahun ke tahun, jumlah pedagang meningkat tajam, seiring dengan semakin digemarinya batu mulia. Pengunjung juga terus meningkat. Sekarang, meski ruangan ber-AC, terasa gerah karena banyak pengunjung," lanjut Udin yang berjualan di lantai satu.
Untuk urusan batu mulia, lanjut Udin, JGC memang terbilang lengkap. Hampir semua batu mulia dari berbagai negara tersedia. Misalnya saja batu safir dari Srilangka yang oleh pedagang batu lebih populer dengan nama Sailon.
"Ini ada sejarahnya. Zaman dulu, untuk naik haji perlu waktu berbulan-bulan karena masih menggunakan kapal. Nah, salah satu tempat persinggahannya di Srilangka. Saat itu, banyak pedagang yang menawarkan batu mulia ke kapal."
Selanjutnya, batu zamrud masuk dari Kolombia. Disusul bebatuan dari benua Afrika. "Sekian lama batu impor mendominasi batu mulia di sini. Kadar kekerasan batu memang bagus. Secara kualitas, mereka lebih dari batu lokal," paparnya.