Ibu DE Yth.,
Benar sekali bila Anda katakan, usia suami yang lebih tua bukanlah jaminan ia akan lebih bisa melindungi dan memberi rasa nyaman. Sebab, sebenarnya kemampuan tadi erat terkait dengan kematangan emosi seseorang, dan sedikit kaitannya dengan usia.
Idealnya, bertambahnya usia membuat orang lebih banyak pengalaman dan pengetahuan, ya Bu. Tapi sayangnya, banyak juga orang yang tak pandai atau malah tak merasa punya kebutuhan untuk memetik manfaat dari kedua hal tadi.
Padahal, yang membuat makin bijak, makin sabar, dan makin peduli kepada orang lain, justru bila kita mau mencoba belajar, mengambil hikmah, bahasa kerennya mengenali learning point dari pengalaman dan kejadian di sekitar kita.
Pula, bila Anda mengharapkan, dengan menjadi istri yang tak banyak polah tingkah, lalu suami otomatis akan menghargai istrinya. Tak demikian, karena kemampuan menghargai orang lain hanya akan datang bila memiliki kemampuan untuk menghargai diri sendiri. Bukan karena orang lain berbaik-baik kepada kita.
Bukankah yang menentukan bagaimana seseorang akan berespons kepada orang lain sebenarnya bukan utamanya hal-hal yang ada di diri orang itu, melainkan bagaimana cara melihat orang itu.
Nah, bila di benak suami sudah tercipta gambaran, Anda patut dicurigai, layak dimarah-marahi dan boleh dimaki seenak hatinya, maka apapun yang Anda lakukan bisa menjadi faktor pencetus hal-hal negatif ini. Alasan akan mudah diada-adakan.
Bila mencermati cerita Anda, sebenarnya suami memang menampilkan ciri khas laki-laki yang kurang punya self respect atau kemampuan menghargai diri sendiri. Jadi, pilihan untuk menikahi perempuan yang jauh lebih muda darinya, mohon maaf, bisa saja disebabkan ia berasumsi, akan lebih mudah di atur-aturnya dan lebih nrimo bila diperlakukan semena-mena.
Dalam perjalanan saya sebagai psikolog, sebenarnya saya sangat berat hati bila harus menganjurkan perceraian. Ini bukan tanpa sebab, Bu. Saat baru memulai karier, puluhan tahun lalu, seseorang yang saya kenal menikah dengan pacarnya saat masih di SMP.
Ia sarjana, punya karier bagus, usia hampir 30 dan single. Bertemu lagi dengan sang mantan yang cuma tamat sekolah kejuruan dan bekerja di pabrik. CLBK pun terjadi, cinta lama bersemi kembali.
Di awal perkawinan, suaminya membuat ia amat bahagia, sampai tiba krisis dan pabrik tempat suaminya bekerja ditutup. Semakin sukar baginya mencari kerja, sementara karier si istri melesat terus.
Saat anaknya berusia 3 tahun, mulailah para tetangga mengadu, karena merasa kasihan kepada istri yang berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 6 sore. Rupanya, begitu sang nyonya pergi, babby sitter-nya naik pangkat. Bermesraan di depan rumah, jogging bareng suami.