Puncaknya, saat ia tanyakan ke suaminya, ternyata diiyakan, ia memang jatuh cinta pada pengasuh anaknya. Cerai atau tidak? Saat itulah saya dengan "semangat 45" menganjurkannya bercerai, mencarikan pengacara, hingga perceraian terjadi. Suaminya tak mau pergi dari rumah yang ia beli, sehingga dengan membawa anaknya, ia kost.
Suatu hari saya bertemu dengannya, ternyata 3 bulan setelah bercerai, ia kehilangan 12 kg, sangat kurus, tua, dan mengaku stres berat. Bukan karena berpisah dengan suami, tapi anaknya selalu menanyakan ayahnya dan sering "panas" bila kangen. Ia terlalu sakit hati untuk mengizinkan anaknya bertemu ayahnya, karena memang suaminya tak pernah ingat anaknya.
Katanya, "Bercerai memang membuat saya lega. Tapi penderitaan anak yang harus berpisah dengan ayahnya, membuat saya menyesal Bu. Kenapa tidak saya usir saja perempuan itu, atau memaafkan suami? Kalau saja tidak bercerai, mungkin saya masih bisa bertahan ya?"
Di situlah Bu, saya sangat merasa bersalah dan berkonsultasilah saya kepada senior saya. Kata-kata beliau selalu saya jadikan pegangan, sampai saat ini.
"Kita tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam rumah tangga seseorang Rien. Klien pun, akan memilah cerita untuk membuatnya terlihat paling benar. Apalagi, bercerai adalah hal yang tak disukai Allah. Maka, jangan suka membuat keputusan untuk orang lain. Cukup beri pandangan tentang konsekuensi dari solusi yang tersedia, lalu biar ia pilih sendiri apa yang ia mau!"
Maka, saya ingin sekali menyarankan, tanyalah diri, apakah Anda masih punya cukup cinta untuk suami? Apakah ia ayah yang baik untuk anak-anaknya, meski ia bukan suami yang baik bagi Anda? Adakah peluang, suami bisa berubah menjadi lebih sabar di masa datang?
Lebih jauh lagi, Anda, kan, tahu suami pemberang, cepat marah, dan pengendalian dirinya buruk. Payah benar bila harus mengubah orang seperti ini, bukan?
Mengapa Anda tak coba mengenali dengan cermat, apa saja yang biasanya memicu kemarahannya, lalu sebisa mungkin menjaga agar ia tak bersinggungan dengan faktor pemicu tadi? Memulainya memang berat, karena saat menyurati saya, pastilah cedera hati Anda sudah di taraf parah, ya Bu?
Anda akan segera mengatakan, "Kenapa, kok, saya lagi yang harus berbuat, saya, kan, korbannya suami? Mengapa bukan ia yang harus berubah? Saya lagi, saya lagi."
Ya benar, seharusnya ia yang berubah. Tapi, bila kita terus menerus berkata: seharusnya, mestinya, bagusnya, maka kita bicara berandai-andai dan ini makin menjauhkan dari solusi. Energi dan waktu akan habis untuk menimbang-nimbang, "Kok, saya harus melakukan banyak hal, sementara ia enak-enakan saja!"
Yang utama, ayo hadapi kenyataan yang ada. Apa? Suami yang emosinya kurang terkendali, mulutnya melakukan KDRT verbal (verbal abuse), kebiasaannya buruk, pulang malam, mabuk, penuh curiga dan cemburu.
Kebutuhan utama orang sejenis ini adalah rasa nyaman Bu, maka usahakan agar ia nyaman. Jangan mimpi deh, ia mau melakukan apa yang Anda minta sebagai pertolongan: matikan teve, nyalakan AC.